MAKNA PUJA,DOA,PERSEMBAHAN,MANTRA DAN PARITA DALAM AGAMA BUDHA


makna & manfaat puja serta doa Makna Puja

Dalam agama Buddha berarti "menghormat". Dillihat dari arti puja sebagai penghormatan berarti puja dapat
dilakukan dengan berbagai cara, yaitu berupa materi maupun perilaku. Puja yang dilakukan dengan materi misalnya,
seperti persembahan makanan, buah, dupa, bunga, air, dll. Puja yang dilakukan dengan perilaku juga dapat
dilakukan baik melalui fisik seperti bersikap anjali, namaskara, atau pradaksina maupun sikap mental sepeti praktek
 metta, karuna, khanti serta memiliki samma ditthi. Puja dalam agama Buddha tidak terbatas sebagai penghormatan
sebagai dewa-dewa, tetapi termasuk juga penghormatan kepada mereka yang patut dihormati

Sarana Puja :: sarana-sarana yang digunakan untuk melakukan puja.
Yaitu ::
a. paritta,sutera,dharani,dan mantra            a. keyakinan (saddha)
b. vihara                                                              b. metta,karuna,mudita,upekkha
c. cetya atau altar                                              c. pengendalian diri (samvara)
d. stupa                                                               d. Perasaan puas (santutthi)
                                                                              e. kedamaian (santhi)
                                                                              f. kebahagiaan (sukha)

Manfaat Amisa Puja ::
* Saddha : Keyakinan dan bakti akan tumbuh berkembang
* Brahmavihara : Empat kediaman atau keadaan batin yang luhur akan berkembang yaitu

    Metta (Cinta kasih yg universal), Karuna (Belas kasihan), mudita (simpati atas kebahagiaan/kelebihan makhluk lain)
   Upekha ( seimbang dalam suka/duka)
* Samvara : Indera akan terkendali
* Santutthi : Puas
* Santi : Damai
* Sukha : Bahagia
Perbedaan antara doa menurut agama Buddha dengan doa menurut pandangan umum ::
Doa menurut agama Buddha diartikan sebagai tindakan penghormatan, perlindungan..
 Sedangkan Doa menurut pandangan umum diartikan sebagai tindakan meminta atau memohon..

Sejarah Puja pada Zaman Sang Buddha ::
uja pada zaman Sang Buddha memiliki arti yang berbeda, yaitu menghormat. Pada masa Buddha terdapat suatu kebiasaan
Pyang dilakukan oleh para bhikkhu yang disebut vattha. Vattha artinya merawat guru Buddha yaitu dengan membersihkan ruangan
mengisi air dan lain-lain. Setelah selesai melaksanakan kewajiban itu, mereka semua (para bhikkhu) dan umat duduk,
untuk mendengarkan khotbah dari Buddha. Setelah selesai mendengarkan khotbah, para bhikkhu mengingatnya atau menghafal
agar kemanapun mereka pergi, ajaran Buddha dapat diingat dan dilaksanakannya.

Pada hari bulan gelap dan terang (purnama) para bhikkhu berkumpul untuk mendengarkan peraturan-peraturan
 atau patimokkha yang harus dilatih. Patimokkha yang didengar oleh para bhikkhu adalah diucapkan oleh seorang bhikkhu
 yang telah menghafalnya. Sebelum atau sesudah pengucapan patimokkha bagi para bhikkhu, umat juga berkumpul
 untuk mendengarkan khotbah. Umat tidak hanya berkumpul dua kali, tetapi dipertengahan antara bulan gelap
 dan bulan terang, mereka juga berkumpul di vihara untuk mendengarkan khotbah. Namun, bila Buddha ada
 di vihara, umat datang untuk mendengarkan khotbah setiap hari.

Para umat biasanya juga melakukan puja (penghormatan) kepada Sang Buddha dengan mempersembahkan bunga,
lilin, dupa, dan lain-lain. Namun, Sang Buddha sendiri berkata bahwa melaksanakan Dhamma yang telah Beliau ajarkan
merupakan bentuk penghormatan yang paling tinggi. Oleh karena itu, Sang Buddha mencegah bentuk penghormatan
 yang berlebihan terhadap diri pribadi Beliau.

Sejarah Puja pada Zaman Pasca Buddha ::
Setelah Sang Buddha Parinibanna, umat tetap berkumpul, lalu untuk mengenang jasa-jasa dan teladan dari Sang Buddha
 atau merenungkan kebajikan-kebajikan Tiratana. Para bhikkhu dan umat berkumpul di vihara untuk menggantikan kebiasaan vattha.
Sebagai pengganti khotbah Buddha, para bhikkhu mengulang kotbah-kotbah atau sutta. Selain itu, kebiasaan baik lain
yang dilakukan oleh para bhikkhu dan samanera, yaitu setiap pagi dan sore (malam) mereka mengucapkan paritta
yang telah mereka hafal. Kebiasaan para bhikkhu tersebut pada saat ini dikenal dengan sebutan kebaktian.

Kebaktian yang merupakan perbuatan baik yang patut dilestarikan adalah salah satu cara melaksanakan puja. Selain itu,
 sama dengan zaman Sang Buddha, para bhikkhu ataupun umat juga melaksanakan Dhamma ajaran Sang Buddha
sebagai penghormatan tertinggi.

Sejarah Amisa Puja ::
Amisa puja dilaksanakan bermula dari bhikkhu Ananda. Beliau adalah murid setia Sang Buddha, setiap hari mengatur tempat tidur,
membersihkan tempat tinggal, membakar dupa, menata bunga dll, mengatur pergiliran umat untuk menemui atau
menyampaikan dana makanan kpd Buddha.



Setelah Buddha parinibbana, para arahat tidak terguncang batinnya, tetpai bhikkhu Ananda yang belum mencapai arahat,
 masih merasakan sedih dan berduka, karena selama bertahun-tahun ia berada didekat buddha, untuk merawat dan melayani
kebiasaan menyiapkan cendana, bunga-bungaan dall yang dilakukan oleh bhikkhu ananda kpd buddha inilah
yang menjadi kebiasaan umat buddha melaksanakan amisa puja sampai sekarang. umat buddha melaksanakan
amisa puja pada altar, relik orang suci, termasuk kpd para bhikkhu dengan memberikan dupa, bunga, lilin, dll.

Perbedaan puja dan budaya ::
Puja adalah penghormatan sebagai sarana pengembangan batin yang lebih berkualitas.
sedangkan Budaya adalah sesuatu yang akan mempengaruhi tingkat pengetahuan dan meliputi sistem ide atau gagasan
yang terdapat dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari, kebudayaan itu bersifat abstrak.


Dalam pengertian umum dan menurut KBBI, doa diartikan sebagai permohonan (harapan, permintaan, pujian) kepada Tuhan.

A.  Doa

Salah satu pengaruh luar yang telah terintegrasi ke dalam pelatihan diri umat Buddha adalah kebiasaan berdoa dan bersembahyang.  Berbagai catatan kuno menyebutkan bahwa Buddha Gotama menolak kebiasaan berdoa maupun sembahyang.  Sang Buddha pernah bersabda :

" Engkau sendiri harus melakukan pekerjaan itu,
sebab Sang Tathagata hanya sebagai Penunjuk Jalan”
(Majjhima Nikaya 107).

Sang Buddha tidak pernah menyuruh pengikutnya untuk berdoa/sembahyang kepada-Nya. Yang dianjurkan adalah:

"Renungkanlah kualitas-kualitas mulia Tathâgata dan Dhamma-Nya (serta Sangha)
(AN 11.12)."


Doa bukan meminta

Doa yang paling sering kita dengar adalah berbagai jenis pemohonan. Kalaupun mengandung pujian, biasanya diikuti dengan permintaan. Ketika menghadapi penderitaan, kesulitan dan ketakutan, banyak orang berdoa untuk meminta pertolongan.

Kepada Anathapindika, Buddha pernah mengemukakan bahwa kebanyakan orang mendambakan panjang usia, kecantikan, kebahagiaan, kehormatan, dan alam surga. Kelima hal itu tidaklah tercapai hanya karena berdoa. Untuk mencapai apa yang diinginkan, janganlah orang tergantung pada doa atau bersikap pasrah tak berdaya, tetapi ia harus berusaha menempuh jalan ke arah itu (A.III.43). Setiap orang dapat mengubah nasibnya dengan berusaha melakukan apa yang terbaik.

Menjawab pertanyaan Punnaka tentang persembahan kepada para dewa, Buddha menjelaskan, “Doa-doa mereka, puji-pujian, persembahan dan aspirasi mereka semua dilakukan berdasar keinginan memiliki, ingin ganjaran. Mereka merindukan kenikmatan nafsu indrawi. Orang-orang yang ahli dalam persembahan ini bersuka cita didalam nafsu untuk menjadi, orang-orang ini tidak akan dapat mengatasi usia tua dan kelahiran kembali“ (Sn.1046).


Doa merefleksikan pikiran. Pikiran yang benar mengandung tiga aspek sbb :
1.      Tidak berdasarkan egoisme dan dorongan nafsu keduniawian yang bersifat rendah.
2.      Mengungkapkan cinta kasih, bukan itikad yang jahat
3.      Mengandung belas kasih, bukan perasaan yang kejam.

Kekuatan doa yang mendatangkan berkah akan tergantung pada keyakinan dan pikiran yang benar.

Sehari-hari dapat kita lihat orang yang meminta agar keinginannya dipenuhi orang lain dengan bersikap merendah atau bisa juga menjilat hingga menyogok dan menuntut. Tidak jaran pula orang berusaha melakukan tawar-menawar atau jual-beli. Kaul atau niat yang diucapkan seseorang sebagai janji untuk melakukan sesuatu jika permintaannya dikabulkan agaknya mengandung nuansa ini.

Tanpa disadari sikap-sikap yang bersifat memaksakan keinginan sendiri itu sekalipun halus mudah mewarnai suatu doa yang bertujuan meminta.

Perhatikan contoh cuplikan Doa ini :

“...Dengarkanlah permohonan kami, lindungilah kami semua, limpahkanlah berkah dan karunia-Mu, jangan b iarkan kami menderita, selamatkanlah kami dari kelaparan, berilah kami makanan dan kekayaan, jauhilah kami dari godaan, singkirkanlah semua mara bahaya dari kami, tunjukkanlah krpada kami, pancarkanlah kasih-sayang-Mu, kasihanilah kami seperti kamu mengasihi orang-orang lain, jika doa ini terkabul kami akan merenovasi vihara ini...”

Sesungguhnya tanpa meminta, apa yang diharapkan pasti akan datang pada waktunya sebagai buah dari perbuatan (karma). Karena itu sebaiknya orang berdoa seraya mawas diri.

Bandingkan doa ini dengan contoh sebelumnya :

“....Semoga kami semua senantiasa membentuk kehidupan kami dalam perlindungan Triratna, semoga kami semua hidup dalam berkah dan karunia-Mu, semoga kami mampu mengatasi penderitaan dengan melakukan karma yang baik, terhindar dari kelaparan dan mampu mempertahankan kesejahteraan kami, semoga kami memiliki kekuatan dan berhasil menyingkirkan semua godaan atau mara bahaya, semoga kami memahami dan menempuh jalan sesuai dengan petunjuk-Mu, selalu hidup dalam kasih-sayang-Mu dan mengembangkan kasih-sayang dengan mengasihani semua makhluk tanpa kecuali.....”

Disini orang yang berdoa menempatkan dirinya sebagai pihak yang aktif, bukan pasif menunggu berkah dari atas. Doanya bukan doa yang bersifat kekakan-kanakan.

Doa dalam agama Buddha yang mengungkapkan pengharapan tidak tepat jika disamakan dengan meminta. Suatu doa atau paritta yang berisikan pengharapan didasarkan pada pernyataan kebenaran, yang dirumuskan dalam kalimat seperti : berkat kebenaran ucapan, berkat kekuatan keyakinan, berkat timbunan jasa kebajikan.

Perhatikan doa dalam syair Shanti Deva (abad ke-7) sbb :

Semoga aku menjadi penawar rasa sakit bagi semua makhluk.
Semoga aku menjadi dokter dan perawat bagi semua orang sakit.
Semoga aku dapat memberi makan dan minum semua yang menderita lapar dan kehausan.
Semoga aku menjadi mustika yang tak ternilai bagi orang-orang miskin.
Semoga aku menjadi pembela bagi mereka yang dicampakkan terlantar di pinggir jalan.
Semoga aku menjadi perahu dan titian bagi mereka yang merindukan Pantai Seberang.
Semoga aku menjadi pelita penerang bagi mereka yang tersesat jalan.

Shanti Deva tidak berdoa agar menjadi kaya, tetapi apa yang diharapkannya jelas takkan tercapai tanpa kekayaan. Doanya bukan meminta, malah menunjukkan keinginan untuk bisa memberi.

Kapan kita berdoa?

Kita dapat melatih diri dengan menyertai doa untuk setiap perbuatan yang kita kerjakan : “ Semoga semua makhluk berbahagia. Sebagaimana kami menghendaki kebahagiaan untuk diri kami, semoga demikian pula semua makhluk sejahtera dan bahagia”.

Doa dan kerja dapat menyatu dalam kegiatan kita sehari-hari. Berdoa merupakan cara untuk memantapkan kepercayaan pada diri sendiri, mengembangkan potensi dan keluhuran jiwa, sehingga membawa kemajuan dan menghasilkan ketentraman. Doa yang dibacakan tak putus-putus dapat membangkitkan getaran suci dalam kalbu dan menghantar pikiran untuk berkonsentrasi. Doa yang mengungkapkan cinta kasih pun menjadi langkah mula melatih metta-bhavana. Meditasi yang mengembangkan cinta kasih dan mengharapkan semua makhluk sejahtera dan bahagia.

B. Paritta dan Mantra

Kebiasaan membaca parittâ juga seharusnya dimengerti dengan benar. Membaca bersama secara rutin di zaman Buddha tidak ditemukan selain pengulangan Pâtimokkhâ (peraturan ke-bhikkhu-an) oleh Sangha [Pacittiya 73, Vinaya Pitaka].

Mengingat bahwa dari ketiga jenis perbuatan yaitu melalui pikiran, perbuatan, dan Ucapan, perbuatan yang melalui pikiranlah yang paling berpengaruh, maka seharusnyalah pembacaan Pâritta dilakukan dalam bahasa yang dimengerti si pembaca. Dan pembaca seharusnya mengingat kembali makna dari apa yang dibaca dan bukan hanya sekedar membacanya. Hal ini sesuai dengan kutipan dari Dhammapada : Sahassa Vagga VIII : 3/102 yang berbunyi :

Daripada seribu bait syair yang tak bermanfaat,
adalah lebih baik satu kata Dhamma
yang dapat memberi kedamaian kepada pendengarnya” .

Dari semua Paritta, bagian utama dari Buddhânussati, Dhammânussati, dan Sanghânussati-lah yang paling umum dianjurkan oleh Buddha untuk diingat terus oleh pengikut awam-Nya [AN 11.12].

Paritta adalah bacaan perlindungan yang dalam pengertian sekarang disamakan dengan doa. pembacaan paritta bermula dari petunjuk Buddha kepada siswa-Nya untuk mengucapkan bacaan tertentu agar terhindar dari kesulitan atau terlindung dari kejahatan. Misalnya Angulimala-paritta yang dibacakan menjelang suatu persalinan, berasal dari formula pernyataan kebenaran dan doa agar ibu dan bayinya selamat, yang diajarkan oleh Buddha Gotama kepada Angulimala untuk menolong perempuan yang menghadapi kesukaran melahirkan (M.II. 103 ).

Atanatiya-paritta adalah doa pujian terhadap sejumlah Buddha termasuk Buddha Gotama, yang berasal dari Empat Dewa Raja. Doa ini diajarkan kepada umat atas persetujuan Buddha agar hidupnya tentram, terlindung dari gangguan makhluk halus.

Dhajaga-paritta (S.I.220), Khandha-paritta (A.II.72), Mora–paritta (ja.II.35) dan Ratana-sutta (Sn. 222-238), diajarkan oleh Buddha sendiri.

Belakangan semua bacaan dalam suatu upacara disebut sebagai paritta, termasuk sejumlah Sutta atau ayat dari KitabSuci.

isi paritta dalam bahasa Pali (sebagaimana maksud dari upacara) antara lain :

1.    1. Penghormatan dan pujian (mis. Vandana, Atanatiya-paritta).
2. Persembahan ( Puja)
3. Pernyataan keyakinan dan perlindungan (mis. Tisarana, Saccakiriya-gatha, Chattamanavaka-vimana-gatha).
4. Pernyataan janji atau tekad (mis. Panca-sila).
5.Pernyataan kebenaran (mis. Angulimala-paritta, Bhojjanga-paritta, Mahakarunikonathotiadi-gatha).
6. Perenungan (mis. Buddha, Dhamma, Dangha-nussati).
7.Sutta atau khotbah Buddha (mis. Mangala-sutta, Parabhava-sutta, Dhammaniyama-sutta, Nidhikkhandha-sutta, Vijaya-sutta).
8. Ungkapan cinta kasih (mis. Khandha-paritta, Karaniya metta-sutta).
9. Pengharapan dan pemberkahan (mis. Pattumodana, Sumangala-gatha, Abhaya-paritta, Cilla-mangala-cakkavala).
10. Syukur, terima kasih, sekaligus pelimpahan jasa (mis. Ettavata, Pattidana).
11. Penyesalan dan permohonan bimbingan (mis. Visuddhi-gatha).

Pembacaan dan pelafalan paritta pali ini berbeda-beda menurut tradisi yang bersifat domestik. Umat kebanyakan, terkadang juga Bhikkhu, melafalkannya dalam penggal-penggal frasa menurut terjemahannya dalam bahasa setempat. Keragaman dialek dihargai oleh Sang Buddha.

Ia menolak usulan Yamelu dan tekula yang merdu suaranya, agar sabda-sabda Buddha dibacakan menurut suatu standar dialek yang berirama (Vi. II. 139 ).

Pernah suatu kelompok Bhikkhu yang terdiri dari enam orang membaca ayat-ayat suci dengan tarikan suara yang panjang berirama sebagai mana halnya bernyanyi. Sang Buddha tidak mengijinkan ayat-ayat suci untuk dinyanyikan, mengingat keburukan yang ditimbulkannya sebagai berikut :

1.   1. Orang yang bersangkutan akan senang (bangga) pada dirinya sendiri karena suaranya itu.
2. Orang lain menyukai suara tersebut (memperhatikan iramanya, bukan Dhammanya).
3. Masyarakat akan mencemooh (karena sifatnya yang cenderung menimbulkan rangsangan indrawi)
4. Konsentrasi terpecah- sibuk tertuju pada pengaturan suara (lupa pada makna dari apa yang diucapkan).
5. Orang-orang terjebak dalam pandangan yang keliru, mempertahankan lagu atau anotasi guru dan pendahulunya (sehingga timbul persaingan dan pertentangan).

Apa yang dimaksudkan dengan pembacaan berirama seperti lagu ini bukan mengenai anotasi (Vin. II. 108).

Mereka yang mengadakan perlombaan membaca paritta dan Sutta (termasuk Dhammapada) dengan mengedepankan irama pelafalan, agaknya tidak memperhatikan petunjuk dari Sang Buddha tersebut diatas. Praktik semacam itu dapat dipandang merendahkan nilai bacaan yang sakral.

Mantra adalah rumusan mistis suku-suku kata yang dipandang suci dan mengandung kekuatan gaib. Pada mulanya sebuah Sutra panjang diringkas menjadi beberapa bait kalimat yang disebut hrdaya (ikhtisar). hrdaya ini diringkas menjadi dharani yang hanya terdiri dari satu atau dua baris kalimat, yang selanjutnya diringkas lagi menjadi mantra yang terdiri dari beberapa suku kata. Contoh mantra : Bhaisajyaguru-mantra, Sukhavativyuha-mantra, Sridevi-mantra. Selain mengandung pujian kepada Buddha. Suku-suku kata itu sesungguhnya tidak mempunyai arti sendiri berdasar bahasa sehari-hari. Mantra menjadi semacam formula rahasia, kata sandi, yang mungkin dapat dimengerti makna sebenarnya lewat mulut seorang guru.

Konsep mantra berkembang dari keyakinan akan kegunaan suara (sabda) sebagai suatu sumber kekuatan atau bahkan sebagai kekuatan itu sendiri yang memiliki pengaruh kuat terhadap diri manusia dan alam semesta. Agar suatu mantra menjadi efektif setelah dibaca berulang-ulang dengan mulut atau dalam hati, ia harus dibangkitkan di dalam kesadaran seseorang melalui integrasi psikofisik dan meditasi yang mendalam. Tanpa konsentrasi mendalam dan meditasi, mantra tidak memiliki kekuatan.

Dharani (dhr, mempertahankan) berhubungan dengan tujuan menyimpan sabda-sabda Buddha atau sutra-sutra kedalam ingatan, mengingat arti sabda-sabda itu.

Dharani juga dipergunakan sehubungan ddengan tujuan magis, membangkitkan kekuatan untuk  menolong makhluk-makhluk yang menderita, dan membantu praktisi mencapai Pencerahan. Salah satu Dharani yang populer adalah maha-karuna-dharani, sehubungan dengan Bodhisattva Avalokitesvara yang diharapkan memberikan pertolongan.


Menjelaskan Praktik Puja dalam Hari-hari Raya Agama Buddha..
* Hari Raya Waisak
Hari suci waisak adalah hari suci atau hari raya utama bagi umat Buddha. Hari Raya Waisak telah menjadi hari libur
Nasional sejak tahun 1983, sesuai dengan Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 3 Tahun 1983, tanggal 19 Januari 1983.
Hari Suci Waisak memperingati 3 peristiwa penting:
1. Hari lahirnya P.Sidharta pada tahun 623 SM di Taman Lumbini.
2. Tercapainya penerangan sempurna oleh pertapa Gotama dan menjadi Buddha pada tahun 588 SM, di hutan Gaya (Bodh Gaya) rimba Uruvela.
3. Buddha mencapai parinibbana (wafat) pada tahun 543 SM di Kusinara.
Karena memperingati 3 peristiwa penting dalam kehidupan Buddha, maka hari suci Waisak disebut juga “Tri Suci Waisak”
 dan sering disebut juga sebagai “Hari Buddha”. Hari raya Waisak ini biasanya jatuh pada bulan Mei atau Juni.

* Hari Raya Asadha
Beberapa alasan memperingati Hari Asadha :
1. Buddha membabarkan khotbah yang pertama kali dengna nama “Dhamma-cakkappavatana Sutta” (Khotbah Pemutaran Roda Dhamma)
2. Munculnya Sangha pertama kali di dunia. Sangha merupakan salah satu faktor dari Tisarana(Buddha,Dhamma,Sangha)
Hari Raya Asadha biasanya jatuh pada bulan purnama sidhi di bulan asadha (juli-agustus) dua bulan setelah Waisak.

* Hari Raya Khatina
Hari Raya Khatina dirayakan tiga bulan setelah hari Asadha. Perayaan ini diselenggarakan umat Buddha sebagai ungkapan
 perasaan terima kasih atas perbuatan baik yang telah dilakukan oleh para bhikkhu. Karena ketika bhikkhu melaksanakan
vassa di vihara selama 3 bulan, mereka mengajar,menuntun dan membina umat agar mendalami,menghayati dan mengamalkan
dhamma. Ungkapan terima kasih itu dinyatakan dengan mempersembahkan 4 kebutuhan pokok para bhikkhu :
a. makanan (bhatta)
b. Jubah (civara)
c. Obat-obatan (bhesajja)
d. Tempat tinggal (kuti)
Dan pada saat penyelenggaraan upacara jubah khatina, di suatu vihara atau cetiya harus memiliki syarat-syarat tertentu :
1. jumlah bhikkhu pada tempat bervassa tersebut sedikitnya 5 orang
2. bhikkhu pada vihara tersebut harus membuat suatu dewan khusus.
3. upacara khatina hanya boleh diadakan pada waktunya, Mahayana hari 16 bulan ke 7 sampai hari ke 16 bulan ke 8.
      Theravada hari ke 16 bulan ke 11 sampai hari ke 16 bulan ke 12.
4. suatu vihara hanya boleh mengadakan Khatina Puja satu kali setahun.
# Hari Khatina disebut juga Hari Sangha.

* Hari Raya Magha Puja
Hari Magha Puja biasanya jatuh pada purnama sidhi di bulan magha (februari-maret). Pada hari ini memperingati 2 kejadian
penting dalam masa hidup Buddha,yaitu:
1. berkumpulnya 1250 orang arahat di vihara veluvana, rajagaha.
kejadian ini memiliki keistimewaan yang disebut “Caturangga-Sanipata” sbb:
a. 1250 bhikkhu semuanya arahat.
b. semuanya ditahbiskan langsung oleh Buddha dengan klimat “Ehi Bhikkhu”.
c. semuanya datang tanpa persetujuan terlebih dahulu.
d. Buddha mengajarkan prinsip-prinsip ajaran-Nya yang disebut ” Ovada Patimokkha”.
2. Buddha memberikan khotbah “Iddhipada Dhamma” kepada para siswanya. Kejadian ini terjadi sewaktu Buddha berada di Cetiya
   Capala di dekat kota Vesali. Setelah beliau memberikan khotbahnya, beliau berdian diri sejenka dan membuat keputusan
    untuk wafat 3 bulan kemudian.

Pengertian sila ::
Sila mempunyai banyak arti. - Pertama, berarti ‘ norma(kaidah), peraturan hidup, perintah’
                                           - Kedua, kata itu menyatakan pula keadaan batin terhadap peraturan hidup

Dasar-dasar pelaksanaan sila::
1.Sati dan sampajanna
-Sati=cetusan keadaan batin.
-Sampajanna=muncul kesadaran ketika sedang melakukan kegiatan.
2.Hiri dan ottapa
-Hiri=perasaan malu, sikap batin yang merasa malu bila melakukan kesalahan/kejahatan.
-Ottapa= enggan berbuat salah/jahat.

Jalan Mulia Berunsur Delapan::
1.Pandangan benar
2.Pikiran Benar
3.Ucapan Benar
4.Perbuatan Benar
5.Penghidupan Benar
6.Usaha Benar
7.Kesadaran Benar
8.Samadhi Benar

Ucapan benar :: menjauhkan diri dari berbohong, dari menyebarkan cerita,
dari kata-kata kasar, dan dari pembicaraan yang sia-sia.

Perbuatan Benar adalah menghindari::
* Membunuh
* Mengambil yang tidak diberikan
* Melakukan perbuatan asusila

Pengertian mata pencaharian benar::
Mata pencaharian atau pekerjaan merupakan hal yang sangat penting bagi manusia, karena tanpa pekerjaan kita akan
mengalami kesulitan dalam hidup kita. Kita memiliki akal dan kebijaksanaan, dengan kebijaksanaan kita dapat mengembangkan
 kemampuan, memperbaiki, membuat sesuatu atau memilih pekerjaan yang kita inginkan. Memilih pekerjaan yang akan
kita kerjakan adalah penting sekali sebab bila kita salah memilih perkerjaan, kita akan merasa selalu tidak puas dan menderita.

ARTI MAKNA DAN LAMBANG DALAM AGAMA BUDHA
Bersujud
Bersujud di hadapan patung Buddha bukanlah memuja berhala. Ini merupakan ungkapan rasa hormat yang mendalam. Sujud merupakan pernyataan bahwa Buddha telah mencapai Penerangan Sempurna dan Tertinggi. Dengan melakukan ini seseorang dapat menekan keinginan, perasaan menang sendiri, dan menjadi lebih siap mempelajari ajaran Buddha.

Beranjali
Meletakkan kedua telapak tangan di depan dada (anjali) merupakan suatu tradisi untuk menyatakan penghormatan tertinggi kepada Tiga Permata. Ketika seorang umat Buddha menyapa yang lain, mereka mengatupkan kedua telapak tangan seperti sekuntum bunga teratai yang kuncup, sedikit membungkukkan badan, dan dengan perlahan berkata “Sekuntum teratai (simbol kesucian dalam Agama Buddha) untukmu, seorang Buddha di masa depan.” Salam ini memberikan pengakuan adanya benih-benih Penerangan Sempurna atau benih Kebuddhaan di dalam diri orang lain oleh karenanya kita mengharapkan kebaikan dan kebahagiaan untuknya. Meletakkan kedua telapak tangan juga mempunyai efek pemusatan dan penenangan pikiran.

Anjali dan Namaskara
Menurut Virana (2008: 130) dalam puja bakti terdapat beberapa sikap yang diantaranya yaitu Añjali dan Namaskāra. Sikap dalam ritual Agama Buddha yang paling sering digunakan adalah Añjali. Añjali dalam Kamus Umum Pali-Sangsekerta-Indonesia (Kaharudin, 2007: 40) diartikan sebagai sikap menghormat dengan merangkapkan kedua telapak tangan di dahi atau di depan dada. Sikap Añjali dapat digunakan sebagai salam hormat kepada orang yang patut dihormati.
Namaskāra merupakan salah satu sikap dalam puja bakti sebagai wujud penghormatan dengan menggunakan badan. Namaskāra dalam Kamus Umum Pali-Sangsekerta-Indonesia (Kaharudin, 2007: 273) berarti pemujaan, penghormatan, menyembah, dan salam hormat. Umat Buddha melakukan Namaskāra sebanyak tiga kali sebagai penghormatan kepada Tiratana.

Sikap hormat dengan añjali dan namaskāra merupakan suatu tradisi dalam Agama Buddha. Dalam Dakkhināvibhanga sutta, Majjhima Nikaya (Bodhi, 2001: 1103) ada tiga jenis sikap penghormatan. Tiga jenis sikap penghormatan tersebut yaitu abhivādana, paccutthānaañjalikamma, dan sāmīcikamma. Abhivādana dapat diartikan penghormatan dengan membungkukan badan. Abhivādana memiliki penjelasan dan maksud yang sama dengan namaskāra. Paccutthānaañjalikamma mempunyai arti penghormatan dengan salam dengan disertai bangkit dan berdiri. Maksud dan tujuan penghormatan paccutthānaañjalikamma hampir sama dengan sikap añjali. Penghormatan yang terakhir yaitu sāmīcikamma yang berarti berlaku sopan dan santun. Berlaku sopan dan santun lebih cenderung penyesuaian diri terhadap cara berperilaku terhadap nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakat
Namatthu Buddhassa,
“Namakara” atau “Namaskara” , dalam bahasa Indonesia artinya adalah “penghormatan” atau “persujudan”.  Sikap namaskara / sujud ini yang benar adalah dengan : 1) lutut , 2) jari kaki , 3) dahi, 4) siku, 5) telapak tangan ; semuanya menyentuh lantai.


Sebagai seorang siswa Sang Buddha, sesungguhnya kita setiap hari wajib ber-Namakara kepada Buddha-Dhamma-Sangha. Dengan demikian, hati kita, tekad kita, semakin mengarah pada praktik Dhamma yang lebih dalam dan pada akhirnya kelak berhasil merealisasi Jalan-Kesucian ( Magga ) dan Buah dari Jalan-Kesucian ( Phala ) sesuai yang ditunjukkan oleh Sang Ti-Ratana. Selain hal itu, dengan ber-Namakara akar kebajikan di dalam diri kita semakin berkembang.
Bila Namakara ini dilakukan dengan baik dan benar, dengan penuh konsentrasi, keheningan, dengan penuh kesadaran pengembangan spiritual,  setelah meninggal seorang ummat-awam dapat berharap untuk terlahirkan kembali ke alam-alam surga atau setidaknya dilahirkan di dalam keluarga yang ber-Sila  yang beragama Buddha

Kata anjali sudah sering kita dengar dan lihat meskipun masih jarang yang melaksanakannya, ketika kita bertemu dengan sesama umat Buddha. Kata Anjali adalah bahasa Pali yang mempunyai pengertian merangkapkan kedua tangan di dada sebagai tanda penghormatan. Jadi anjali adalah salah satu cara menghormati orang lain yang biasa dilakukan dalam agama Buddha.
Dalam agama Buddha terdapat tiga cara menghormati orang lain, yaitu :
1. Anjali,yaitu merangkapkan tangan di depan dada.
2. Namaskara, yaitu menghormati dengan cara bersujud.
3. Pradaksina, yaitu menghormati dengan cara mengelilingi obyek yang dihormati dengan bersikap anjali.
Sikap anjali dilakukan jika kita bertemu dengan orang lain yang patut dihormati, misalnya guru, kakak pembina, orang tua, biku/ni, samanera/I, upaska/I, pandita/I, anagarika,ni, dll. Sikap anjali juga dilakukan ketika kita hendap mengucap kata kata “Namo Buddhaya”, yang artinya “terpujilah Buddha”. Jadi ketika kita hendak mengucap Namo Buddhaya kita harus bersikap anjali terlebih dahulu, sebab ini adalah cara paling sopan ketika kita hendak menyebut nama Buddha, orang yang berjasa dan sangat kita hormati.

Anjali, Namaskara, dan Pradaksina sebenarnya adalah tradisi orang-orang India dalam menghormati orang lain. Ini tidak berbeda dengan orang Indonesia yang bila bertemu dengan orang lain bersalaman, juga tidak berbeda dengan orang-orang arab jika bertemu dengan orang lain berpelukan dan bersentuhan pipi, demikian juga dalam tradisi Cina yang jika bertemu orang memberi “soja” atau menghormat dengan cara mengepalkan kedua tangan. Mengapa Anjali, juga dilaksankan oleh umat beragama Buddha? Hal ini dikeranakan agama Buddha berasal dari India. Jika agama Buddha dari Jepang mungkin cara menghormatnya adalah tidak beranjali tetapi membukukkan badan. Disamping itu juga cara menghormat seperti itu tidak bertentangan dengan ajaran Buddha. Jadi dengan demikian sikap anjali tidak hanya dilaksanakan oleh umat Buddha tetapi juga oleh orang-orang India pada umumnya yang bukan beragama Buddha.
Siapakah orang yang patut dihormati? Ornag yang patut dihormati pada umumnya adalah 1. Orang tua
2. Guru
3. Orang yang berjasa kepada kita
4. Orang yang lebih tua
5. Orang-orang yang bajik
6. dll.

Tetapi, pada dasarnya semua makhluk adalah patut dihormati, baik ia manusia, para dewa, maupun binatang dan makhluik-makhluk halus lainnya. Mengapa demikian? Karena menghormati orang yang patut dihormati adalah perbuatan terpuji, dan bukan perbuatan jahat, serta tidak merugikan kita, tetapi sebaliknya justru menambah karma baik kita.

Pada kenyataanya banyak umat Buddha, baik anak-anak, remaja, orang tua, dll yang sangat hormat kepada “Patung Buddha” dan patung-patung lain tetapi malah kurang atau jarang bahkan tidak mau menghormati orang yang masih hidup, seperti misalnya para biku, samanera, guru, kakak pembina, sesama teman, dll. Sikap demikian adalah bukan sikap yang terpuji, dan jelas bukan praktik Dhamma yang benar. Karena itu harus diperbaiki dari sekarang.

Buddha pernah bersabda “Siapa yang melihat Dhamma, ia melihat Aku” artinya bahwa siapa saja yang mempraktikan ajaran Buddha dengan benar maka dia akan “bertemu dengan Buddha”. Disamping itu juga penghormatan yang terbaik kepada Buddha adalah bukan dengan memuja-muja pribadi Buddha, apalagi mendewa-dewakan patung Buddha, tetapi cara penghormatan yang paling baik adalah dengan cara melaksanakan ajaran Buddha, diantaranya adalah menghormati orang yang patut dihormati, baik dengan cara Anjali, Namaskara, maupun pradaksina. Buddha juga menyatakan bahwa menghormati orang yang patut dihormati adalah berkah utama, dan orang itu akan mendapat berkah berupa umur panjang, kecantikan, kebahagiaan, dan kekuatan.


Pradaksina
Pradaksina merupakan kegiatan mengelilingi sebuah obyek pemujaan seperti stupa (sebuah bangunan bersejarah tempat menyimpan reliks suci), pohon Bodhi (pohon di mana Buddha duduk di bawahnya saat Beliau mencapai Penerangan Sempurna), atau Pratima Buddha, sebanyak tiga kali atau lebih sebagai wujud sikap hormat. Ini dilakukan dengan meditasi berjalan searah jarum jam; seseorang menjaga agar tetap berada di sisi kanan obyek pemujaan.

Persembahan
Memberikan persembahan di altar merupakan wujud bakti, yang menunjukkan penghormatan dan pemujaan kepada Tiga Permata. Setiap benda yang dipersembahkan memiliki makna masing-masing.

Cahaya
Persembahan cahaya mengingatkan kita pada pancaran sinar Kebijaksanaan yang menghalau kegelapan dan ketidaktahuan
di dalam usaha mencapai Penerangan Sempurna. Ini mendorong kita mencari cahaya Kebijaksanaan.
Menghormati Budha, kita mempersembahkan lilin dan pelita :
Kepada-Nya, yang merupakan cahaya, kami persembahkan cahaya.
Dengan lampu-Nya yang agung, kami nyalakan pelita dalam diri kami
Pelita Bodhi (Penerangan Sempurna) bersinar dalam hati kami.

Bunga
Persembahan bunga-bunga yang segar dan indah, yang segera akan menjadi layu, tidak lagi wangi dan pudar warnanya mengingatkan  kita pada ketidakkekalan semua benda, termasuk kehidupan kita. Ini mendorong kita untuk menghargai setiap momen dalam hidup kita dan tidak terikat padanya.
Menghormati Buddha, kita mempersembahkan bunga:
Bunga-bunga yang saat ini segar dan mekar dengan indahnya,
Bunga-bunga yang esok akan memudar dan berguguran,
Demikianlah tubuh ini, seperti bunga, akan lapuk juga.

Dupa
Persembahan dupa wangi yang dibakar memenuhi udara di sekelilingnya melambangkan jasa kebajikan dan efek penyucian dari tingkah laku yang bermanfaat. Ini mendorong kita untuk melawan semua setan (godaan) dan membangkitkan hal-hal yang baik.
Menghormati Buddha, kita mempersembahkan dupa:
Dupa yang wanginya meresap di udara
Keharuman hidup yang sempurna, lebih manis daripada dupa
Menyebar ke segala penjuru di seluruh dunia.




Air
Persembahan air melambangkan kesucian, kemurniaan, dan ketenangan. Ini mendorong kita untuk melatih tindakan, ucapan dan pikiran kita untuk mendapatkan sifat-sifat di atas.


Buah-buahan
Buah-buahan melambangkan buah dari pencapaian spiritual yang membawa kita menuju buah akhir,
yaitu penerangan sempurna, yang merupakan tujuan akhir semua umat Buddha. Ini mendorong kita untuk
berusaha mencapai Penerangan Sempurna bagi kebahagiaan semua makhluk.







ARTI DAN CARA PUASA AGAMA BUDHA

Dalam agama Buddha, juga dikenal sebuah istilah yang dapat diartikan sebagai “puasa”. Namun, hendaknya jangan
ditafsirkan sebagai puasa tidak makan dan minum selama sekitar 15 jam seperti dalam agama Islam.
Puasa dalam agama Buddha sedikit berbeda dan diperbolehkan minum. Dalam agama Buddha puasa itu disebut Uposatha
 Puasa ini tidak wajib bagi umat Buddha, namun biasanya dilaksanakan dua kali dalam satu bulan
 (menurut kalender buddhis dimana berdasarkan peredaran bulan), yaitu pada saat bulan terang dan gelap(bulan purnama).
 Namun ada yang melaksanakan 6 kali dalam satu bulan, tetapi puasa (uposatha) tersebut tidak wajib.
Uposatha artinya hari pengamalan (dengan berpuasa) atau dengan pelaksanaan uposatha-sila pada hari atau waktu tertentu
(dapat disebut hari uposatha). Puasa tersebut dilaksanakan dengan menjalani uposatha-sila. Uposatha-sila
(aturan yang berjumlah delapan) antara lain:
1.Panatipata veramani sikkhapadam samadiyami / Tidak membunuh
Artinya adalah tidak melakukan pembunuhan atau melukai makhluk hidup.
Makhluk hidup di sini adalah manusia dan binatang. Tumbuhan tidak termasuk)

2.Adinnadana veramani sikkhapadam samadiyami / Tidak mencuri
Artinya adalah tidak melakukan perbuatan yang mengambil barang tanpa seizin pemiliknya.

3.Abrahmacariya veramani sikkhapadam samadiyami / Tidak melakukan hubungan seks
Artinya adalah tidak melakukan hubungan badan baik dengan apa pun juga, dan tidak melakukan kegiatan seks sendiri(masturbasi).
 Intinya adalah tidak boleh melakukan kegiatan yang memuaskan diri secara seksual.

4.Musavada veramani sikkhapadam samadiyami / Tidak berbohong
Pengertian ini jelas. Artinya tidak berbohong sehingga merugikan orang lain secara langsung atau pun tidak langsung dengan niat buruk.

5.Vikala-bhojana veramani sikkhapadam samadiyami
Tidak berkonsumsi makanan yang membuat kesadaran lemah dan ketagihan (alkohol, obat-obatan terlarang) Artinya jelas.
Jika seseorang mengkonsumsi untuk tujuan medis dalam jumlah kecil dan tidak hilang kesadaran, maka tidak terjadi pelanggaran.

6.Vikala-bhojana veramani sikkhapadam samadiyami/Tidak makan pada waktu yang salah
Pengertian di sini adalah bahwa seseorang tidak boleh makan setelah lewat tengah hari hingga subuh/dinihari.
Patokannya adalah untuk tengah hari, ketika matahari tepat diatas kepala atau pukul dua belas. dan untuk subuh/dinihari
adalah ketika tanpa lampu, seseorang dapat melihat garis tangannya sendiri atau ketika matahari terbit.
 Jadi seseorang boleh makan (berapa kali pun) hanya pada waktu dinihari/subuh sampai tengah hari (sekitar jam 12).

7.Naccagita-vadita-visukadassana malagandha-vilepana dharana-mandana vibusanatthana veramani sikkhapadam samadiyami
/ Tidak bernyanyi, menari atau menonton hiburan. Juga tidak memakai perhiasan, kosmetik, atau parfum.
Pengertiannya jelas dan untuk mendengarkan musik pun tidak diperbolehkan. Jika musik atau kosmetik digunakan untuk terapi
atau untuk menolak penyakit, maka seseorang tidak menjadi melanggar aturan. Tidak duduk atau berbaring di tempat
duduk atau tempat duduk yang besar dan tinggi Pengertiannya di sini adalah tidak tidur di atas tempat yang
 tingginya lebih dari 20 inci termasuk juga duduk. Tidur atau duduk di tempat yang mewah juga tidak diperbolehkan.

 8. Uccasayana-mahasayana veramani sikkhapadam samadiyami
Bertekad melatih diri untuk menghindari penggunaan tempat tidur dan tempat duduk yg tinggi, besar dan mewah.

Puasa dalam agama Buddha sedikit berbeda dan diperbolehkan minum. Dalam agama Buddha puasa itu disebut Uposatha. Puasa ini tidak wajib bagi umat Buddha, namun biasanya dilaksanakan dua kali dalam satu bulan (menurut kalender buddhis dimana berdasarkan peredaran bulan), yaitu pada saat bulan terang dan gelap(bulan purnama). Namun ada yang melaksanakan 6 kali dalam satu bulan, tetapi puasa (uposatha) tersebut tidak wajib.
Uposatha artinya hari pengamalan (dengan berpuasa) atau dengan pelaksanaan uposatha-sila pada hari atau waktu tertentu (dapat disebut hari uposatha). Puasa tersebut dilaksanakan dengan menjalani uposatha-sila.
Jadi puasa (uposatha) seorang umat Buddha dinyatakan sah, apabila ia mematuhi ke-8 larangan tersebut seperti yang tertulis di atas
. Jika salah satu larangan tersebut dilanggar—baik sengaja atau tidak— berarti ia puasanya (uposatha-nya) tidak sempurna.

Ada satu jenis kegiatan lagi dalam agama Buddha yang bisa disebut “puasa”, yaitu vegetaris. Vegetaris berarti tidak makan
makanan bernyawa (dalam hal ini daging). Atau bisa dikatakan hanya memakan sayur-sayuran. Dalam pelaksanaan vegetaris ini,
 umat Buddha yang vegetarian ini tidak makan daging, termasuk jenis bawang-bawangan. Untuk telur atau susu, ada vegetarian
 yang masih makan, ada yang tidak. Namun vegetarian murni tidak makan telur atau pun susu. Dalam melaksanakan puasa ini (vegetaris)
, seseorang boleh makan kapan pun dalam 24 jam, namun hanya makan sayur-sayuran, tidak boleh daging dan bawang-bawangan.
 Puasa ini (melaksanakan vegetaris) tidak wajib bagi umat Buddha. Biasanya umat Buddha melaksanakannya tanggal 1 dan 15 berdasar
 kalender lunar (berdasar revolusi bulan), ketika bulan purnama menurut perhitungan Cina.


Kesimpulannya dalam agama Buddha, terdapat puasa namun definisinya berbeda. Puasa jenis I, disebut Uposatha intinya
 tidak makan dari setelah siang hari sampai subuh. Puasa jenis II, disebut vegetaris intinya tidak makan makanan
 yang berasal dari makhluk hidup (dalam hal ini daging).


MAKNA DUPA DAN JUMLAH DUPA
DUPA MERAH = PERMOHONAN KHUSUS
DUPA KUNING = SEMBAHYANG SEHARI HARI
DUPA HIJAU = UNTUK ORANG MENINGGAL
DUPA LINGKAR = UNTUK WEWANGIAN (MEDITASI)
DUPA PIRAMIDA,KRUCUT,BUBUK = UNTUK MENGUSIR HAWA NEGATIF
DUPA PANJANG LURUS TANPA GAGANG = UNTUK TYME,DEWA DEWI SAAT URGENT

JUMLAH DUPA DAN MAKNA
1 BATANG == UNTUK SEHARI HARI
3 BATANG = UNTUK TYME ATAU DEWA DEWI SEMBAHYANG KHUSUS
5 = UNTUK DEWA BUMI,USAHA DAN DEWA DEWI YANG DIBAWAH ALTAR
6 BATANG   = UNTUK KEPERLUAN ORANG LAIN
7 BATANG   = UNTUK PERMOHONAN KHUSUS,MEMBALIKAN PADA ORANG LAIN
8 BATANG   = UNTUK KESIALAN,KESUSAHAN TERUS MENERUS
9 BATANG   = UNTUK DEWA DEWI KHUSUS JAM 9
12 BATANG = UNTUK SEMUA MAKHLUK AGAR BAHAGIA
36 BATANG = KESUKSESAN DAN KEBAHAGIAAN
108 BATANG = UNTUK KEADAAAN TERDESAK ATAU PERMOHONAN KHUSUS 
                            SEKALI KEPADA TYME JAM 12 MALAM (TUAKIM 1 KUNCI,TULIS
                          NAMA,ALAMAT,UMUR,SHIO)

MAKNA WARNA BENDERA BUDHIS
BIRU =BHAKTI
KUNING = BIJAKSANA
MERAH = CINTAKASIH
PUTIH = SUCI
ORANYE/JINGGA = SEMANGAT




Comments