makna & manfaat puja serta doa Makna Puja
Dalam agama Buddha berarti
"menghormat". Dillihat dari arti puja sebagai penghormatan berarti
puja dapat
dilakukan dengan berbagai cara, yaitu
berupa materi maupun perilaku. Puja yang dilakukan dengan materi misalnya,
seperti persembahan makanan, buah,
dupa, bunga, air, dll. Puja yang dilakukan dengan perilaku juga dapat
dilakukan baik melalui fisik seperti
bersikap anjali, namaskara, atau pradaksina maupun sikap mental sepeti praktek
metta, karuna, khanti serta memiliki samma
ditthi. Puja dalam agama Buddha tidak terbatas sebagai penghormatan
sebagai dewa-dewa, tetapi termasuk
juga penghormatan kepada mereka yang patut dihormati
Sarana Puja :: sarana-sarana yang
digunakan untuk melakukan puja.
Yaitu ::
a. paritta,sutera,dharani,dan
mantra a. keyakinan (saddha)
b. vihara
b. metta,karuna,mudita,upekkha
c. cetya atau altar c. pengendalian diri (samvara)
d. stupa
d. Perasaan puas (santutthi)
e.
kedamaian (santhi)
f. kebahagiaan (sukha)
Manfaat Amisa Puja ::
* Saddha : Keyakinan dan bakti akan
tumbuh berkembang
* Brahmavihara : Empat kediaman atau
keadaan batin yang luhur akan berkembang yaitu
Metta (Cinta kasih yg universal), Karuna (Belas kasihan), mudita
(simpati atas kebahagiaan/kelebihan makhluk lain)
Upekha ( seimbang dalam suka/duka)
* Samvara : Indera akan terkendali
* Santutthi : Puas
* Santi : Damai
* Sukha : Bahagia
Perbedaan antara doa menurut agama
Buddha dengan doa menurut pandangan umum ::
Doa menurut agama Buddha diartikan
sebagai tindakan penghormatan, perlindungan..
Sedangkan Doa menurut pandangan umum diartikan
sebagai tindakan meminta atau memohon..
Sejarah Puja pada Zaman Sang Buddha
::
uja pada zaman Sang Buddha memiliki
arti yang berbeda, yaitu menghormat. Pada masa Buddha terdapat suatu kebiasaan
Pyang dilakukan oleh para bhikkhu
yang disebut vattha. Vattha artinya merawat guru Buddha yaitu dengan
membersihkan ruangan
mengisi air dan lain-lain. Setelah
selesai melaksanakan kewajiban itu, mereka semua (para bhikkhu) dan umat duduk,
untuk mendengarkan khotbah dari
Buddha. Setelah selesai mendengarkan khotbah, para bhikkhu mengingatnya atau
menghafal
agar kemanapun mereka pergi, ajaran
Buddha dapat diingat dan dilaksanakannya.
Pada hari bulan gelap dan terang
(purnama) para bhikkhu berkumpul untuk mendengarkan peraturan-peraturan
atau patimokkha yang harus dilatih. Patimokkha
yang didengar oleh para bhikkhu adalah diucapkan oleh seorang bhikkhu
yang telah menghafalnya. Sebelum atau sesudah
pengucapan patimokkha bagi para bhikkhu, umat juga berkumpul
untuk mendengarkan khotbah. Umat tidak hanya
berkumpul dua kali, tetapi dipertengahan antara bulan gelap
dan bulan terang, mereka juga berkumpul di
vihara untuk mendengarkan khotbah. Namun, bila Buddha ada
di vihara, umat datang untuk mendengarkan
khotbah setiap hari.
Para umat biasanya juga melakukan
puja (penghormatan) kepada Sang Buddha dengan mempersembahkan bunga,
lilin, dupa, dan lain-lain. Namun,
Sang Buddha sendiri berkata bahwa melaksanakan Dhamma yang telah Beliau ajarkan
merupakan bentuk penghormatan yang
paling tinggi. Oleh karena itu, Sang Buddha mencegah bentuk penghormatan
yang berlebihan terhadap diri pribadi Beliau.
Sejarah Puja pada Zaman Pasca Buddha
::
Setelah Sang Buddha Parinibanna, umat
tetap berkumpul, lalu untuk mengenang jasa-jasa dan teladan dari Sang Buddha
atau merenungkan kebajikan-kebajikan Tiratana.
Para bhikkhu dan umat berkumpul di vihara untuk menggantikan kebiasaan vattha.
Sebagai pengganti khotbah Buddha,
para bhikkhu mengulang kotbah-kotbah atau sutta. Selain itu, kebiasaan baik
lain
yang dilakukan oleh para bhikkhu dan
samanera, yaitu setiap pagi dan sore (malam) mereka mengucapkan paritta
yang telah mereka hafal. Kebiasaan
para bhikkhu tersebut pada saat ini dikenal dengan sebutan kebaktian.
Kebaktian yang merupakan perbuatan
baik yang patut dilestarikan adalah salah satu cara melaksanakan puja. Selain
itu,
sama dengan zaman Sang Buddha, para bhikkhu
ataupun umat juga melaksanakan Dhamma ajaran Sang Buddha
sebagai penghormatan tertinggi.
Sejarah Amisa Puja ::
Amisa puja dilaksanakan bermula dari
bhikkhu Ananda. Beliau adalah murid setia Sang Buddha, setiap hari mengatur
tempat tidur,
membersihkan tempat tinggal, membakar
dupa, menata bunga dll, mengatur pergiliran umat untuk menemui atau
menyampaikan dana makanan kpd Buddha.
Setelah Buddha parinibbana, para
arahat tidak terguncang batinnya, tetpai bhikkhu Ananda yang belum mencapai
arahat,
masih merasakan sedih dan berduka, karena
selama bertahun-tahun ia berada didekat buddha, untuk merawat dan melayani
kebiasaan menyiapkan cendana,
bunga-bungaan dall yang dilakukan oleh bhikkhu ananda kpd buddha inilah
yang menjadi kebiasaan umat buddha
melaksanakan amisa puja sampai sekarang. umat buddha melaksanakan
amisa puja pada altar, relik orang
suci, termasuk kpd para bhikkhu dengan memberikan dupa, bunga, lilin, dll.
Perbedaan puja dan budaya ::
Puja adalah penghormatan sebagai
sarana pengembangan batin yang lebih berkualitas.
sedangkan Budaya adalah sesuatu yang
akan mempengaruhi tingkat pengetahuan dan meliputi sistem ide atau gagasan
yang terdapat dalam pikiran manusia,
sehingga dalam kehidupan sehari-hari, kebudayaan itu bersifat abstrak.
Dalam pengertian umum dan menurut
KBBI, doa diartikan sebagai permohonan (harapan, permintaan, pujian) kepada
Tuhan.
A.
Doa
Salah satu pengaruh luar yang telah
terintegrasi ke dalam pelatihan diri umat Buddha adalah kebiasaan berdoa dan
bersembahyang. Berbagai catatan kuno
menyebutkan bahwa Buddha Gotama menolak kebiasaan berdoa maupun sembahyang. Sang Buddha pernah bersabda :
" Engkau sendiri harus melakukan
pekerjaan itu,
sebab Sang Tathagata hanya sebagai
Penunjuk Jalan”
(Majjhima Nikaya 107).
Sang Buddha tidak pernah menyuruh
pengikutnya untuk berdoa/sembahyang kepada-Nya. Yang dianjurkan adalah:
"Renungkanlah kualitas-kualitas
mulia Tathâgata dan Dhamma-Nya (serta Sangha)
(AN 11.12)."
Doa bukan meminta
Doa yang paling sering kita dengar
adalah berbagai jenis pemohonan. Kalaupun mengandung pujian, biasanya diikuti
dengan permintaan. Ketika menghadapi penderitaan, kesulitan dan ketakutan,
banyak orang berdoa untuk meminta pertolongan.
Kepada Anathapindika, Buddha pernah
mengemukakan bahwa kebanyakan orang mendambakan panjang usia, kecantikan,
kebahagiaan, kehormatan, dan alam surga. Kelima hal itu tidaklah tercapai hanya
karena berdoa. Untuk mencapai apa yang diinginkan, janganlah orang tergantung
pada doa atau bersikap pasrah tak berdaya, tetapi ia harus berusaha menempuh
jalan ke arah itu (A.III.43). Setiap orang dapat mengubah nasibnya dengan
berusaha melakukan apa yang terbaik.
Menjawab pertanyaan Punnaka tentang
persembahan kepada para dewa, Buddha menjelaskan, “Doa-doa mereka, puji-pujian,
persembahan dan aspirasi mereka semua dilakukan berdasar keinginan memiliki,
ingin ganjaran. Mereka merindukan kenikmatan nafsu indrawi. Orang-orang yang
ahli dalam persembahan ini bersuka cita didalam nafsu untuk menjadi,
orang-orang ini tidak akan dapat mengatasi usia tua dan kelahiran kembali“
(Sn.1046).
Doa merefleksikan pikiran. Pikiran
yang benar mengandung tiga aspek sbb :
1.
Tidak berdasarkan egoisme dan
dorongan nafsu keduniawian yang bersifat rendah.
2.
Mengungkapkan cinta kasih, bukan
itikad yang jahat
3. Mengandung belas kasih, bukan perasaan
yang kejam.
Kekuatan doa yang mendatangkan berkah
akan tergantung pada keyakinan dan pikiran yang benar.
Sehari-hari dapat kita lihat orang
yang meminta agar keinginannya dipenuhi orang lain dengan bersikap merendah
atau bisa juga menjilat hingga menyogok dan menuntut. Tidak jaran pula orang
berusaha melakukan tawar-menawar atau jual-beli. Kaul atau niat yang diucapkan
seseorang sebagai janji untuk melakukan sesuatu jika permintaannya dikabulkan
agaknya mengandung nuansa ini.
Tanpa disadari sikap-sikap yang
bersifat memaksakan keinginan sendiri itu sekalipun halus mudah mewarnai suatu
doa yang bertujuan meminta.
Perhatikan contoh cuplikan Doa ini :
“...Dengarkanlah permohonan kami,
lindungilah kami semua, limpahkanlah berkah dan karunia-Mu, jangan b iarkan
kami menderita, selamatkanlah kami dari kelaparan, berilah kami makanan dan
kekayaan, jauhilah kami dari godaan, singkirkanlah semua mara bahaya dari kami,
tunjukkanlah krpada kami, pancarkanlah kasih-sayang-Mu, kasihanilah kami
seperti kamu mengasihi orang-orang lain, jika doa ini terkabul kami akan
merenovasi vihara ini...”
Sesungguhnya tanpa meminta, apa yang
diharapkan pasti akan datang pada waktunya sebagai buah dari perbuatan (karma).
Karena itu sebaiknya orang berdoa seraya mawas diri.
Bandingkan doa ini dengan contoh
sebelumnya :
“....Semoga kami semua senantiasa
membentuk kehidupan kami dalam perlindungan Triratna, semoga kami semua hidup
dalam berkah dan karunia-Mu, semoga kami mampu mengatasi penderitaan dengan
melakukan karma yang baik, terhindar dari kelaparan dan mampu mempertahankan
kesejahteraan kami, semoga kami memiliki kekuatan dan berhasil menyingkirkan
semua godaan atau mara bahaya, semoga kami memahami dan menempuh jalan sesuai
dengan petunjuk-Mu, selalu hidup dalam kasih-sayang-Mu dan mengembangkan
kasih-sayang dengan mengasihani semua makhluk tanpa kecuali.....”
Disini orang yang berdoa menempatkan
dirinya sebagai pihak yang aktif, bukan pasif menunggu berkah dari atas. Doanya
bukan doa yang bersifat kekakan-kanakan.
Doa dalam agama Buddha yang
mengungkapkan pengharapan tidak tepat jika disamakan dengan meminta. Suatu doa
atau paritta yang berisikan pengharapan didasarkan pada pernyataan kebenaran,
yang dirumuskan dalam kalimat seperti : berkat kebenaran ucapan, berkat
kekuatan keyakinan, berkat timbunan jasa kebajikan.
Perhatikan doa dalam syair Shanti
Deva (abad ke-7) sbb :
Semoga aku menjadi penawar rasa sakit
bagi semua makhluk.
Semoga aku menjadi dokter dan perawat
bagi semua orang sakit.
Semoga aku dapat memberi makan dan
minum semua yang menderita lapar dan kehausan.
Semoga aku menjadi mustika yang tak
ternilai bagi orang-orang miskin.
Semoga aku menjadi pembela bagi
mereka yang dicampakkan terlantar di pinggir jalan.
Semoga aku menjadi perahu dan titian
bagi mereka yang merindukan Pantai Seberang.
Semoga aku menjadi pelita penerang
bagi mereka yang tersesat jalan.
Shanti Deva tidak berdoa agar menjadi
kaya, tetapi apa yang diharapkannya jelas takkan tercapai tanpa kekayaan.
Doanya bukan meminta, malah menunjukkan keinginan untuk bisa memberi.
Kapan kita berdoa?
Kita dapat melatih diri dengan
menyertai doa untuk setiap perbuatan yang kita kerjakan : “ Semoga semua
makhluk berbahagia. Sebagaimana kami menghendaki kebahagiaan untuk diri kami,
semoga demikian pula semua makhluk sejahtera dan bahagia”.
Doa dan kerja dapat menyatu dalam
kegiatan kita sehari-hari. Berdoa merupakan cara untuk memantapkan kepercayaan
pada diri sendiri, mengembangkan potensi dan keluhuran jiwa, sehingga membawa
kemajuan dan menghasilkan ketentraman. Doa yang dibacakan tak putus-putus dapat
membangkitkan getaran suci dalam kalbu dan menghantar pikiran untuk
berkonsentrasi. Doa yang mengungkapkan cinta kasih pun menjadi langkah mula
melatih metta-bhavana. Meditasi yang mengembangkan cinta kasih dan mengharapkan
semua makhluk sejahtera dan bahagia.
B. Paritta dan Mantra
Kebiasaan membaca parittâ juga
seharusnya dimengerti dengan benar. Membaca bersama secara rutin di zaman
Buddha tidak ditemukan selain pengulangan Pâtimokkhâ (peraturan ke-bhikkhu-an)
oleh Sangha [Pacittiya 73, Vinaya Pitaka].
Mengingat bahwa dari ketiga jenis
perbuatan yaitu melalui pikiran, perbuatan, dan Ucapan, perbuatan yang melalui
pikiranlah yang paling berpengaruh, maka seharusnyalah pembacaan Pâritta
dilakukan dalam bahasa yang dimengerti si pembaca. Dan pembaca seharusnya
mengingat kembali makna dari apa yang dibaca dan bukan hanya sekedar
membacanya. Hal ini sesuai dengan kutipan dari Dhammapada : Sahassa Vagga VIII
: 3/102 yang berbunyi :
Daripada seribu bait syair yang tak
bermanfaat,
adalah lebih baik satu kata Dhamma
yang dapat memberi kedamaian kepada
pendengarnya” .
Dari semua Paritta, bagian utama dari
Buddhânussati, Dhammânussati, dan Sanghânussati-lah yang paling umum dianjurkan
oleh Buddha untuk diingat terus oleh pengikut awam-Nya [AN 11.12].
Paritta adalah bacaan perlindungan
yang dalam pengertian sekarang disamakan dengan doa. pembacaan paritta bermula
dari petunjuk Buddha kepada siswa-Nya untuk mengucapkan bacaan tertentu agar
terhindar dari kesulitan atau terlindung dari kejahatan. Misalnya
Angulimala-paritta yang dibacakan menjelang suatu persalinan, berasal dari
formula pernyataan kebenaran dan doa agar ibu dan bayinya selamat, yang
diajarkan oleh Buddha Gotama kepada Angulimala untuk menolong perempuan yang
menghadapi kesukaran melahirkan (M.II. 103 ).
Atanatiya-paritta adalah doa pujian
terhadap sejumlah Buddha termasuk Buddha Gotama, yang berasal dari Empat Dewa
Raja. Doa ini diajarkan kepada umat atas persetujuan Buddha agar hidupnya
tentram, terlindung dari gangguan makhluk halus.
Dhajaga-paritta (S.I.220),
Khandha-paritta (A.II.72), Mora–paritta (ja.II.35) dan Ratana-sutta (Sn.
222-238), diajarkan oleh Buddha sendiri.
Belakangan semua bacaan dalam suatu
upacara disebut sebagai paritta, termasuk sejumlah Sutta atau ayat dari
KitabSuci.
isi paritta dalam bahasa Pali
(sebagaimana maksud dari upacara) antara lain :
1.
1. Penghormatan dan pujian (mis. Vandana, Atanatiya-paritta).
2. Persembahan ( Puja)
3. Pernyataan keyakinan dan
perlindungan (mis. Tisarana, Saccakiriya-gatha, Chattamanavaka-vimana-gatha).
4. Pernyataan janji atau tekad (mis.
Panca-sila).
5.Pernyataan kebenaran (mis.
Angulimala-paritta, Bhojjanga-paritta, Mahakarunikonathotiadi-gatha).
6. Perenungan (mis. Buddha, Dhamma,
Dangha-nussati).
7.Sutta atau khotbah Buddha (mis.
Mangala-sutta, Parabhava-sutta, Dhammaniyama-sutta, Nidhikkhandha-sutta,
Vijaya-sutta).
8. Ungkapan cinta kasih (mis.
Khandha-paritta, Karaniya metta-sutta).
9. Pengharapan dan pemberkahan (mis.
Pattumodana, Sumangala-gatha, Abhaya-paritta, Cilla-mangala-cakkavala).
10. Syukur, terima kasih, sekaligus
pelimpahan jasa (mis. Ettavata, Pattidana).
11. Penyesalan dan permohonan
bimbingan (mis. Visuddhi-gatha).
Pembacaan dan pelafalan paritta pali
ini berbeda-beda menurut tradisi yang bersifat domestik. Umat kebanyakan,
terkadang juga Bhikkhu, melafalkannya dalam penggal-penggal frasa menurut
terjemahannya dalam bahasa setempat. Keragaman dialek dihargai oleh Sang
Buddha.
Ia menolak usulan Yamelu dan tekula
yang merdu suaranya, agar sabda-sabda Buddha dibacakan menurut suatu standar
dialek yang berirama (Vi. II. 139 ).
Pernah suatu kelompok Bhikkhu yang
terdiri dari enam orang membaca ayat-ayat suci dengan tarikan suara yang
panjang berirama sebagai mana halnya bernyanyi. Sang Buddha tidak mengijinkan
ayat-ayat suci untuk dinyanyikan, mengingat keburukan yang ditimbulkannya
sebagai berikut :
1.
1. Orang yang bersangkutan akan senang (bangga) pada dirinya sendiri
karena suaranya itu.
2. Orang lain menyukai suara tersebut
(memperhatikan iramanya, bukan Dhammanya).
3. Masyarakat akan mencemooh (karena
sifatnya yang cenderung menimbulkan rangsangan indrawi)
4. Konsentrasi terpecah- sibuk
tertuju pada pengaturan suara (lupa pada makna dari apa yang diucapkan).
5. Orang-orang terjebak dalam
pandangan yang keliru, mempertahankan lagu atau anotasi guru dan pendahulunya
(sehingga timbul persaingan dan pertentangan).
Apa yang dimaksudkan dengan pembacaan
berirama seperti lagu ini bukan mengenai anotasi (Vin. II. 108).
Mereka yang mengadakan perlombaan
membaca paritta dan Sutta (termasuk Dhammapada) dengan mengedepankan irama
pelafalan, agaknya tidak memperhatikan petunjuk dari Sang Buddha tersebut
diatas. Praktik semacam itu dapat dipandang merendahkan nilai bacaan yang
sakral.
Mantra adalah rumusan mistis
suku-suku kata yang dipandang suci dan mengandung kekuatan gaib. Pada mulanya
sebuah Sutra panjang diringkas menjadi beberapa bait kalimat yang disebut
hrdaya (ikhtisar). hrdaya ini diringkas menjadi dharani yang hanya terdiri dari
satu atau dua baris kalimat, yang selanjutnya diringkas lagi menjadi mantra
yang terdiri dari beberapa suku kata. Contoh mantra : Bhaisajyaguru-mantra,
Sukhavativyuha-mantra, Sridevi-mantra. Selain mengandung pujian kepada Buddha.
Suku-suku kata itu sesungguhnya tidak mempunyai arti sendiri berdasar bahasa
sehari-hari. Mantra menjadi semacam formula rahasia, kata sandi, yang mungkin
dapat dimengerti makna sebenarnya lewat mulut seorang guru.
Konsep mantra berkembang dari
keyakinan akan kegunaan suara (sabda) sebagai suatu sumber kekuatan atau bahkan
sebagai kekuatan itu sendiri yang memiliki pengaruh kuat terhadap diri manusia
dan alam semesta. Agar suatu mantra menjadi efektif setelah dibaca
berulang-ulang dengan mulut atau dalam hati, ia harus dibangkitkan di dalam
kesadaran seseorang melalui integrasi psikofisik dan meditasi yang mendalam.
Tanpa konsentrasi mendalam dan meditasi, mantra tidak memiliki kekuatan.
Dharani (dhr, mempertahankan)
berhubungan dengan tujuan menyimpan sabda-sabda Buddha atau sutra-sutra kedalam
ingatan, mengingat arti sabda-sabda itu.
Dharani juga dipergunakan sehubungan
ddengan tujuan magis, membangkitkan kekuatan untuk menolong makhluk-makhluk yang menderita, dan
membantu praktisi mencapai Pencerahan. Salah satu Dharani yang populer adalah
maha-karuna-dharani, sehubungan dengan Bodhisattva Avalokitesvara yang
diharapkan memberikan pertolongan.
Menjelaskan Praktik Puja dalam
Hari-hari Raya Agama Buddha..
* Hari Raya Waisak
Hari suci waisak adalah hari suci
atau hari raya utama bagi umat Buddha. Hari Raya Waisak telah menjadi hari
libur
Nasional sejak tahun 1983, sesuai
dengan Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 3 Tahun 1983, tanggal 19
Januari 1983.
Hari Suci Waisak memperingati 3
peristiwa penting:
1. Hari lahirnya P.Sidharta pada
tahun 623 SM di Taman Lumbini.
2. Tercapainya penerangan sempurna
oleh pertapa Gotama dan menjadi Buddha pada tahun 588 SM, di hutan Gaya (Bodh
Gaya) rimba Uruvela.
3. Buddha mencapai parinibbana
(wafat) pada tahun 543 SM di Kusinara.
Karena memperingati 3 peristiwa
penting dalam kehidupan Buddha, maka hari suci Waisak disebut juga “Tri Suci
Waisak”
dan sering disebut juga sebagai “Hari Buddha”.
Hari raya Waisak ini biasanya jatuh pada bulan Mei atau Juni.
* Hari Raya Asadha
Beberapa alasan memperingati Hari
Asadha :
1. Buddha membabarkan khotbah yang
pertama kali dengna nama “Dhamma-cakkappavatana Sutta” (Khotbah Pemutaran Roda
Dhamma)
2. Munculnya Sangha pertama kali di
dunia. Sangha merupakan salah satu faktor dari Tisarana(Buddha,Dhamma,Sangha)
Hari Raya Asadha biasanya jatuh pada
bulan purnama sidhi di bulan asadha (juli-agustus) dua bulan setelah Waisak.
* Hari Raya Khatina
Hari Raya Khatina dirayakan tiga
bulan setelah hari Asadha. Perayaan ini diselenggarakan umat Buddha sebagai
ungkapan
perasaan terima kasih atas perbuatan baik yang
telah dilakukan oleh para bhikkhu. Karena ketika bhikkhu melaksanakan
vassa di vihara selama 3 bulan,
mereka mengajar,menuntun dan membina umat agar mendalami,menghayati dan
mengamalkan
dhamma. Ungkapan terima kasih itu
dinyatakan dengan mempersembahkan 4 kebutuhan pokok para bhikkhu :
a. makanan (bhatta)
b. Jubah (civara)
c. Obat-obatan (bhesajja)
d. Tempat tinggal (kuti)
Dan pada saat penyelenggaraan upacara
jubah khatina, di suatu vihara atau cetiya harus memiliki syarat-syarat
tertentu :
1. jumlah bhikkhu pada tempat
bervassa tersebut sedikitnya 5 orang
2. bhikkhu pada vihara tersebut harus
membuat suatu dewan khusus.
3. upacara khatina hanya boleh
diadakan pada waktunya, Mahayana hari 16 bulan ke 7 sampai hari ke 16 bulan ke
8.
Theravada hari ke 16 bulan ke 11 sampai hari ke 16 bulan ke 12.
4. suatu vihara hanya boleh
mengadakan Khatina Puja satu kali setahun.
# Hari Khatina disebut juga Hari
Sangha.
* Hari Raya Magha Puja
Hari Magha Puja biasanya jatuh pada
purnama sidhi di bulan magha (februari-maret). Pada hari ini memperingati 2
kejadian
penting dalam masa hidup
Buddha,yaitu:
1. berkumpulnya 1250 orang arahat di
vihara veluvana, rajagaha.
kejadian ini memiliki keistimewaan
yang disebut “Caturangga-Sanipata” sbb:
a. 1250 bhikkhu semuanya arahat.
b. semuanya ditahbiskan langsung oleh
Buddha dengan klimat “Ehi Bhikkhu”.
c. semuanya datang tanpa persetujuan
terlebih dahulu.
d. Buddha mengajarkan prinsip-prinsip
ajaran-Nya yang disebut ” Ovada Patimokkha”.
2. Buddha memberikan khotbah
“Iddhipada Dhamma” kepada para siswanya. Kejadian ini terjadi sewaktu Buddha
berada di Cetiya
Capala di dekat kota Vesali. Setelah beliau memberikan khotbahnya,
beliau berdian diri sejenka dan membuat keputusan
untuk wafat 3 bulan kemudian.
Pengertian sila ::
Sila mempunyai banyak arti. -
Pertama, berarti ‘ norma(kaidah), peraturan hidup, perintah’
- Kedua, kata itu
menyatakan pula keadaan batin terhadap peraturan hidup
Dasar-dasar pelaksanaan sila::
1.Sati dan sampajanna
-Sati=cetusan keadaan batin.
-Sampajanna=muncul kesadaran ketika
sedang melakukan kegiatan.
2.Hiri dan ottapa
-Hiri=perasaan malu, sikap batin yang
merasa malu bila melakukan kesalahan/kejahatan.
-Ottapa= enggan berbuat salah/jahat.
Jalan Mulia Berunsur Delapan::
1.Pandangan benar
2.Pikiran Benar
3.Ucapan Benar
4.Perbuatan Benar
5.Penghidupan Benar
6.Usaha Benar
7.Kesadaran Benar
8.Samadhi Benar
Ucapan benar :: menjauhkan diri dari
berbohong, dari menyebarkan cerita,
dari kata-kata kasar, dan dari
pembicaraan yang sia-sia.
Perbuatan Benar adalah menghindari::
* Membunuh
* Mengambil yang tidak diberikan
* Melakukan perbuatan asusila
Pengertian mata pencaharian benar::
Mata pencaharian atau pekerjaan
merupakan hal yang sangat penting bagi manusia, karena tanpa pekerjaan kita
akan
mengalami kesulitan dalam hidup kita.
Kita memiliki akal dan kebijaksanaan, dengan kebijaksanaan kita dapat
mengembangkan
kemampuan, memperbaiki, membuat sesuatu atau
memilih pekerjaan yang kita inginkan. Memilih pekerjaan yang akan
kita kerjakan adalah penting sekali
sebab bila kita salah memilih perkerjaan, kita akan merasa selalu tidak puas
dan menderita.
ARTI MAKNA DAN LAMBANG DALAM AGAMA BUDHA
Bersujud
Bersujud di hadapan patung Buddha
bukanlah memuja berhala. Ini merupakan ungkapan rasa hormat yang mendalam.
Sujud merupakan pernyataan bahwa Buddha telah mencapai Penerangan Sempurna dan
Tertinggi. Dengan melakukan ini seseorang dapat menekan keinginan, perasaan
menang sendiri, dan menjadi lebih siap mempelajari ajaran Buddha.
Beranjali
Meletakkan kedua telapak tangan di
depan dada (anjali) merupakan suatu tradisi untuk menyatakan penghormatan
tertinggi kepada Tiga Permata. Ketika seorang umat Buddha menyapa yang lain,
mereka mengatupkan kedua telapak tangan seperti sekuntum bunga teratai yang
kuncup, sedikit membungkukkan badan, dan dengan perlahan berkata “Sekuntum
teratai (simbol kesucian dalam Agama Buddha) untukmu, seorang Buddha di masa
depan.” Salam ini memberikan pengakuan adanya benih-benih Penerangan Sempurna
atau benih Kebuddhaan di dalam diri orang lain oleh karenanya kita mengharapkan
kebaikan dan kebahagiaan untuknya. Meletakkan kedua telapak tangan juga
mempunyai efek pemusatan dan penenangan pikiran.
Anjali dan Namaskara
Menurut Virana (2008: 130) dalam puja
bakti terdapat beberapa sikap yang diantaranya yaitu Añjali dan
Namaskāra. Sikap dalam ritual Agama Buddha yang paling sering digunakan
adalah Añjali. Añjali dalam Kamus Umum Pali-Sangsekerta-Indonesia (Kaharudin,
2007: 40) diartikan sebagai sikap menghormat dengan merangkapkan kedua telapak
tangan di dahi atau di depan dada. Sikap Añjali dapat digunakan sebagai salam
hormat kepada orang yang patut dihormati.
Namaskāra merupakan salah satu sikap
dalam puja bakti sebagai wujud penghormatan dengan menggunakan badan. Namaskāra
dalam Kamus Umum Pali-Sangsekerta-Indonesia (Kaharudin, 2007: 273) berarti
pemujaan, penghormatan, menyembah, dan salam hormat. Umat Buddha melakukan
Namaskāra sebanyak tiga kali sebagai penghormatan kepada Tiratana.
Sikap hormat dengan añjali dan
namaskāra merupakan suatu tradisi dalam Agama Buddha. Dalam Dakkhināvibhanga
sutta, Majjhima Nikaya (Bodhi, 2001: 1103) ada tiga jenis sikap penghormatan.
Tiga jenis sikap penghormatan tersebut yaitu abhivādana,
paccutthānaañjalikamma, dan sāmīcikamma. Abhivādana dapat diartikan
penghormatan dengan membungkukan badan. Abhivādana memiliki penjelasan dan
maksud yang sama dengan namaskāra. Paccutthānaañjalikamma mempunyai arti
penghormatan dengan salam dengan disertai bangkit dan berdiri. Maksud dan
tujuan penghormatan paccutthānaañjalikamma hampir sama dengan sikap añjali.
Penghormatan yang terakhir yaitu sāmīcikamma yang berarti berlaku sopan dan
santun. Berlaku sopan dan santun lebih cenderung penyesuaian diri terhadap cara
berperilaku terhadap nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakat
Namatthu Buddhassa,
“Namakara” atau “Namaskara” , dalam
bahasa Indonesia artinya adalah “penghormatan” atau “persujudan”. Sikap namaskara / sujud ini yang benar adalah
dengan : 1) lutut , 2) jari kaki , 3) dahi, 4) siku, 5) telapak tangan ;
semuanya menyentuh lantai.
Sebagai seorang siswa Sang Buddha,
sesungguhnya kita setiap hari wajib ber-Namakara kepada Buddha-Dhamma-Sangha.
Dengan demikian, hati kita, tekad kita, semakin mengarah pada praktik Dhamma
yang lebih dalam dan pada akhirnya kelak berhasil merealisasi Jalan-Kesucian (
Magga ) dan Buah dari Jalan-Kesucian ( Phala ) sesuai yang ditunjukkan oleh
Sang Ti-Ratana. Selain hal itu, dengan ber-Namakara akar kebajikan di dalam
diri kita semakin berkembang.
Bila Namakara ini dilakukan dengan
baik dan benar, dengan penuh konsentrasi, keheningan, dengan penuh kesadaran
pengembangan spiritual, setelah
meninggal seorang ummat-awam dapat berharap untuk terlahirkan kembali ke
alam-alam surga atau setidaknya dilahirkan di dalam keluarga yang ber-Sila yang beragama Buddha
Kata anjali sudah sering kita dengar
dan lihat meskipun masih jarang yang melaksanakannya, ketika kita bertemu
dengan sesama umat Buddha. Kata Anjali adalah bahasa Pali yang mempunyai
pengertian merangkapkan kedua tangan di dada sebagai tanda penghormatan. Jadi
anjali adalah salah satu cara menghormati orang lain yang biasa dilakukan dalam
agama Buddha.
Dalam agama Buddha terdapat tiga cara
menghormati orang lain, yaitu :
1. Anjali,yaitu merangkapkan tangan
di depan dada.
2. Namaskara, yaitu menghormati
dengan cara bersujud.
3. Pradaksina, yaitu menghormati
dengan cara mengelilingi obyek yang dihormati dengan bersikap anjali.
Sikap anjali dilakukan jika kita
bertemu dengan orang lain yang patut dihormati, misalnya guru, kakak pembina,
orang tua, biku/ni, samanera/I, upaska/I, pandita/I, anagarika,ni, dll. Sikap
anjali juga dilakukan ketika kita hendap mengucap kata kata “Namo Buddhaya”,
yang artinya “terpujilah Buddha”. Jadi ketika kita hendak mengucap Namo
Buddhaya kita harus bersikap anjali terlebih dahulu, sebab ini adalah cara
paling sopan ketika kita hendak menyebut nama Buddha, orang yang berjasa dan
sangat kita hormati.
Anjali, Namaskara, dan Pradaksina
sebenarnya adalah tradisi orang-orang India dalam menghormati orang lain. Ini
tidak berbeda dengan orang Indonesia yang bila bertemu dengan orang lain
bersalaman, juga tidak berbeda dengan orang-orang arab jika bertemu dengan
orang lain berpelukan dan bersentuhan pipi, demikian juga dalam tradisi Cina
yang jika bertemu orang memberi “soja” atau menghormat dengan cara mengepalkan
kedua tangan. Mengapa Anjali, juga dilaksankan oleh umat beragama Buddha? Hal
ini dikeranakan agama Buddha berasal dari India. Jika agama Buddha dari Jepang
mungkin cara menghormatnya adalah tidak beranjali tetapi membukukkan badan.
Disamping itu juga cara menghormat seperti itu tidak bertentangan dengan ajaran
Buddha. Jadi dengan demikian sikap anjali tidak hanya dilaksanakan oleh umat
Buddha tetapi juga oleh orang-orang India pada umumnya yang bukan beragama
Buddha.
Siapakah orang yang patut dihormati?
Ornag yang patut dihormati pada umumnya adalah 1. Orang tua
2. Guru
3. Orang yang berjasa kepada kita
4. Orang yang lebih tua
5. Orang-orang yang bajik
6. dll.
Tetapi, pada dasarnya semua makhluk
adalah patut dihormati, baik ia manusia, para dewa, maupun binatang dan
makhluik-makhluk halus lainnya. Mengapa demikian? Karena menghormati orang yang
patut dihormati adalah perbuatan terpuji, dan bukan perbuatan jahat, serta
tidak merugikan kita, tetapi sebaliknya justru menambah karma baik kita.
Pada kenyataanya banyak umat Buddha,
baik anak-anak, remaja, orang tua, dll yang sangat hormat kepada “Patung
Buddha” dan patung-patung lain tetapi malah kurang atau jarang bahkan tidak mau
menghormati orang yang masih hidup, seperti misalnya para biku, samanera, guru,
kakak pembina, sesama teman, dll. Sikap demikian adalah bukan sikap yang
terpuji, dan jelas bukan praktik Dhamma yang benar. Karena itu harus diperbaiki
dari sekarang.
Buddha pernah bersabda “Siapa yang
melihat Dhamma, ia melihat Aku” artinya bahwa siapa saja yang mempraktikan
ajaran Buddha dengan benar maka dia akan “bertemu dengan Buddha”. Disamping itu
juga penghormatan yang terbaik kepada Buddha adalah bukan dengan memuja-muja
pribadi Buddha, apalagi mendewa-dewakan patung Buddha, tetapi cara penghormatan
yang paling baik adalah dengan cara melaksanakan ajaran Buddha, diantaranya
adalah menghormati orang yang patut dihormati, baik dengan cara Anjali,
Namaskara, maupun pradaksina. Buddha juga menyatakan bahwa menghormati orang
yang patut dihormati adalah berkah utama, dan orang itu akan mendapat berkah
berupa umur panjang, kecantikan, kebahagiaan, dan kekuatan.
Pradaksina
Pradaksina merupakan kegiatan
mengelilingi sebuah obyek pemujaan seperti stupa (sebuah bangunan bersejarah
tempat menyimpan reliks suci), pohon Bodhi (pohon di mana Buddha duduk di
bawahnya saat Beliau mencapai Penerangan Sempurna), atau Pratima Buddha,
sebanyak tiga kali atau lebih sebagai wujud sikap hormat. Ini dilakukan dengan
meditasi berjalan searah jarum jam; seseorang menjaga agar tetap berada di sisi
kanan obyek pemujaan.
Persembahan
Memberikan persembahan di altar
merupakan wujud bakti, yang menunjukkan penghormatan dan pemujaan kepada Tiga
Permata. Setiap benda yang dipersembahkan memiliki makna masing-masing.
Cahaya
Persembahan cahaya mengingatkan kita
pada pancaran sinar Kebijaksanaan yang menghalau kegelapan dan ketidaktahuan
di dalam usaha mencapai Penerangan
Sempurna. Ini mendorong kita mencari cahaya Kebijaksanaan.
Menghormati Budha, kita
mempersembahkan lilin dan pelita :
Kepada-Nya, yang merupakan cahaya,
kami persembahkan cahaya.
Dengan lampu-Nya yang agung, kami
nyalakan pelita dalam diri kami
Pelita Bodhi (Penerangan Sempurna)
bersinar dalam hati kami.
Bunga
Persembahan bunga-bunga yang segar
dan indah, yang segera akan menjadi layu, tidak lagi wangi dan pudar warnanya
mengingatkan kita pada ketidakkekalan semua benda, termasuk kehidupan
kita. Ini mendorong kita untuk menghargai setiap momen dalam hidup kita dan
tidak terikat padanya.
Menghormati Buddha, kita
mempersembahkan bunga:
Bunga-bunga yang saat ini segar dan
mekar dengan indahnya,
Bunga-bunga yang esok akan memudar
dan berguguran,
Demikianlah tubuh ini, seperti bunga,
akan lapuk juga.
Dupa
Persembahan dupa wangi yang dibakar
memenuhi udara di sekelilingnya melambangkan jasa kebajikan dan efek penyucian
dari tingkah laku yang bermanfaat. Ini mendorong kita untuk melawan semua setan
(godaan) dan membangkitkan hal-hal yang baik.
Menghormati Buddha, kita
mempersembahkan dupa:
Dupa yang wanginya meresap di udara
Keharuman hidup yang sempurna, lebih
manis daripada dupa
Menyebar ke segala penjuru di seluruh
dunia.
Air
Persembahan air melambangkan
kesucian, kemurniaan, dan ketenangan. Ini mendorong kita untuk melatih tindakan,
ucapan dan pikiran kita untuk mendapatkan sifat-sifat di atas.
Buah-buahan
Buah-buahan melambangkan buah dari
pencapaian spiritual yang membawa kita menuju buah akhir,
yaitu penerangan sempurna, yang
merupakan tujuan akhir semua umat Buddha. Ini mendorong kita untuk
berusaha mencapai Penerangan Sempurna
bagi kebahagiaan semua makhluk.

ARTI DAN CARA PUASA AGAMA BUDHA
Dalam agama Buddha, juga dikenal
sebuah istilah yang dapat diartikan sebagai “puasa”. Namun, hendaknya jangan
ditafsirkan sebagai puasa tidak makan
dan minum selama sekitar 15 jam seperti dalam agama Islam.
Puasa dalam agama Buddha sedikit
berbeda dan diperbolehkan minum. Dalam agama Buddha puasa itu disebut Uposatha
Puasa ini tidak wajib bagi umat Buddha, namun
biasanya dilaksanakan dua kali dalam satu bulan
(menurut kalender buddhis dimana berdasarkan
peredaran bulan), yaitu pada saat bulan terang dan gelap(bulan purnama).
Namun ada yang melaksanakan 6 kali dalam satu
bulan, tetapi puasa (uposatha) tersebut tidak wajib.
Uposatha artinya hari pengamalan
(dengan berpuasa) atau dengan pelaksanaan uposatha-sila pada hari atau waktu
tertentu
(dapat disebut hari uposatha). Puasa
tersebut dilaksanakan dengan menjalani uposatha-sila. Uposatha-sila
(aturan yang berjumlah delapan)
antara lain:
1.Panatipata veramani sikkhapadam
samadiyami / Tidak membunuh
Artinya adalah tidak melakukan
pembunuhan atau melukai makhluk hidup.
Makhluk hidup di sini adalah manusia
dan binatang. Tumbuhan tidak termasuk)
2.Adinnadana veramani sikkhapadam
samadiyami / Tidak mencuri
Artinya adalah tidak melakukan
perbuatan yang mengambil barang tanpa seizin pemiliknya.
3.Abrahmacariya veramani sikkhapadam
samadiyami / Tidak melakukan hubungan seks
Artinya adalah tidak melakukan
hubungan badan baik dengan apa pun juga, dan tidak melakukan kegiatan seks
sendiri(masturbasi).
Intinya adalah tidak boleh melakukan kegiatan
yang memuaskan diri secara seksual.
4.Musavada veramani sikkhapadam
samadiyami / Tidak berbohong
Pengertian ini jelas. Artinya tidak
berbohong sehingga merugikan orang lain secara langsung atau pun tidak langsung
dengan niat buruk.
5.Vikala-bhojana veramani sikkhapadam
samadiyami
Tidak berkonsumsi makanan yang
membuat kesadaran lemah dan ketagihan (alkohol, obat-obatan terlarang) Artinya
jelas.
Jika seseorang mengkonsumsi untuk
tujuan medis dalam jumlah kecil dan tidak hilang kesadaran, maka tidak terjadi
pelanggaran.
6.Vikala-bhojana veramani sikkhapadam
samadiyami/Tidak makan pada waktu yang salah
Pengertian di sini adalah bahwa
seseorang tidak boleh makan setelah lewat tengah hari hingga subuh/dinihari.
Patokannya adalah untuk tengah hari,
ketika matahari tepat diatas kepala atau pukul dua belas. dan untuk
subuh/dinihari
adalah ketika tanpa lampu, seseorang
dapat melihat garis tangannya sendiri atau ketika matahari terbit.
Jadi seseorang boleh makan (berapa kali pun)
hanya pada waktu dinihari/subuh sampai tengah hari (sekitar jam 12).
7.Naccagita-vadita-visukadassana
malagandha-vilepana dharana-mandana vibusanatthana veramani sikkhapadam
samadiyami
/ Tidak bernyanyi, menari atau
menonton hiburan. Juga tidak memakai perhiasan, kosmetik, atau parfum.
Pengertiannya jelas dan untuk
mendengarkan musik pun tidak diperbolehkan. Jika musik atau kosmetik digunakan
untuk terapi
atau untuk menolak penyakit, maka
seseorang tidak menjadi melanggar aturan. Tidak duduk atau berbaring di tempat
duduk atau tempat duduk yang besar
dan tinggi Pengertiannya di sini adalah tidak tidur di atas tempat yang
tingginya lebih dari 20 inci termasuk juga
duduk. Tidur atau duduk di tempat yang mewah juga tidak diperbolehkan.
8. Uccasayana-mahasayana
veramani sikkhapadam samadiyami
Bertekad melatih diri untuk
menghindari penggunaan tempat tidur dan tempat duduk yg tinggi, besar dan
mewah.
Puasa dalam agama Buddha sedikit
berbeda dan diperbolehkan minum. Dalam agama Buddha puasa itu disebut Uposatha.
Puasa ini tidak wajib bagi umat Buddha, namun biasanya dilaksanakan dua kali
dalam satu bulan (menurut kalender buddhis dimana berdasarkan peredaran bulan),
yaitu pada saat bulan terang dan gelap(bulan purnama). Namun ada yang
melaksanakan 6 kali dalam satu bulan, tetapi puasa (uposatha) tersebut tidak
wajib.
Uposatha artinya hari pengamalan
(dengan berpuasa) atau dengan pelaksanaan uposatha-sila pada hari atau waktu
tertentu (dapat disebut hari uposatha). Puasa tersebut dilaksanakan dengan
menjalani uposatha-sila.
Jadi puasa (uposatha) seorang umat
Buddha dinyatakan sah, apabila ia mematuhi ke-8 larangan tersebut seperti yang
tertulis di atas
. Jika salah satu larangan tersebut
dilanggar—baik sengaja atau tidak— berarti ia puasanya (uposatha-nya) tidak
sempurna.
Ada satu jenis kegiatan lagi dalam
agama Buddha yang bisa disebut “puasa”, yaitu vegetaris. Vegetaris berarti
tidak makan
makanan bernyawa (dalam hal ini
daging). Atau bisa dikatakan hanya memakan sayur-sayuran. Dalam pelaksanaan
vegetaris ini,
umat Buddha yang vegetarian ini tidak makan
daging, termasuk jenis bawang-bawangan. Untuk telur atau susu, ada vegetarian
yang masih makan, ada yang tidak. Namun
vegetarian murni tidak makan telur atau pun susu. Dalam melaksanakan puasa ini
(vegetaris)
, seseorang boleh makan kapan pun
dalam 24 jam, namun hanya makan sayur-sayuran, tidak boleh daging dan
bawang-bawangan.
Puasa ini (melaksanakan vegetaris) tidak wajib
bagi umat Buddha. Biasanya umat Buddha melaksanakannya tanggal 1 dan 15
berdasar
kalender lunar (berdasar revolusi bulan),
ketika bulan purnama menurut perhitungan Cina.
Kesimpulannya dalam agama Buddha,
terdapat puasa namun definisinya berbeda. Puasa jenis I, disebut Uposatha
intinya
tidak makan dari setelah siang hari sampai
subuh. Puasa jenis II, disebut vegetaris intinya tidak makan makanan
yang berasal dari makhluk hidup (dalam hal ini
daging).
MAKNA DUPA DAN JUMLAH DUPA
DUPA MERAH = PERMOHONAN KHUSUS
DUPA KUNING = SEMBAHYANG SEHARI HARI
DUPA HIJAU = UNTUK ORANG MENINGGAL
DUPA LINGKAR = UNTUK WEWANGIAN
(MEDITASI)
DUPA PIRAMIDA,KRUCUT,BUBUK = UNTUK
MENGUSIR HAWA NEGATIF
DUPA PANJANG LURUS TANPA GAGANG =
UNTUK TYME,DEWA DEWI SAAT URGENT
JUMLAH DUPA DAN MAKNA
1 BATANG ==
UNTUK SEHARI HARI
3 BATANG =
UNTUK TYME ATAU DEWA DEWI SEMBAHYANG KHUSUS
5 = UNTUK
DEWA BUMI,USAHA DAN DEWA DEWI YANG DIBAWAH ALTAR
6
BATANG = UNTUK KEPERLUAN ORANG LAIN
7
BATANG = UNTUK PERMOHONAN KHUSUS,MEMBALIKAN
PADA ORANG LAIN
8
BATANG = UNTUK KESIALAN,KESUSAHAN TERUS
MENERUS
9
BATANG = UNTUK DEWA DEWI KHUSUS JAM 9
12 BATANG =
UNTUK SEMUA MAKHLUK AGAR BAHAGIA
36 BATANG =
KESUKSESAN DAN KEBAHAGIAAN
108 BATANG =
UNTUK KEADAAAN TERDESAK ATAU PERMOHONAN KHUSUS
SEKALI KEPADA TYME
JAM 12 MALAM (TUAKIM 1 KUNCI,TULIS
NAMA,ALAMAT,UMUR,SHIO)
MAKNA WARNA BENDERA BUDHIS
BIRU =BHAKTI
KUNING = BIJAKSANA
MERAH = CINTAKASIH
PUTIH = SUCI
ORANYE/JINGGA = SEMANGAT
Comments
Post a Comment