PERJALANAN BUDHA SACYAMUNI SIDHARTA GAUTAMA DAN FAKTA

PERJALANAN NAMO SANGHYANG ADIBUDHA/SIDHARTA GAOTAMA

Sebelah selatan dari Nepal di kaki gunung Himalaya, terdapat sebuah tempat suci bernama Lumbini, yaitu tempat di mana Sang Buddha lahir. Banyak sekali umat Buddha dari seluruh dunia berziarah kemari untuk memberikan hormat kepada seorang bijak yang kisah hidupnya tidak lekang pudar oleh waktu. Terdapat banyak sekali cerita tentang Sang Buddha, di setiap tradisi, setiap budaya, setiap periode waktu, memiliki kisahnya sendiri tentang Sang Buddha. Kurang lebih 500 tahun setelah meninggalnya Sang Buddha, baru mulai ada materi tertulis mengenai biography Sang Budha. Jadi, selama kurang lebih 500 tahun ajaran tentang Sang Buddha diajarkan secara oral atau lisan.

Tentunya ada seseorang yang berkorespondensi dengan Sang Buddha sehingga orang tersebut dapat menuliskan kisah tentang Sang Buddha, tetapi kita tidak tau siapa kah orang tersebut, apa kah apa yang dia paparkan tersebut benar atau jangan-jangan hanya dongeng belaka, berapa banyak dari kisah Sang Buddha yang benar-benar realita. Tetapi di luar dari semua itu, kisah perjalanan hidup Sang Buddha merupakan salah satu cara yang indah untuk menyampaikan ajaran Sang Buddha.
“Dia yang melihat ajaranku melihatku, dan dia yang melihatku melihat ajaranku”, demikian kata Sang Buddha.
Lahir lebih kurang 500 tahun sebelum kelahiran Yesus. Sang Buddha lahir dan diberi nama Sidharta Gautama, ayahnya bernama Raja Sudhodana. Selama kurang lebih 3 dekade Sang Buddha dibesarkan dengan sangat hati-hati oleh ayahnya, tinggal di istana dengan segala kemewahan layaknya seorang anak Raja, pergi ke mana-mana terlindung dari panas dan hujan. Ayahnya menginginkan Sidharta menjadi seorang Raja, menaklukkan dunia dan menjadi Kaisar India yang pada waktu itu terpecah menjadi 17 kerajaan.
Istri Raja Sudhodana bernama Ratu Maya. Sebelum melahirkan Sang Buddha, Ratu Maya mendapatkan sebuah mimpi yang aneh, Ratu bermimpi ada empat orang Dewa Agung membawa Ratu ke gunung Himalaya, meletakkannya di bawah pohon Sala, kemudian Dewa Agung memandikan Ratu di danau Anotatta, selanjutnya Ratu di pimpin masuk ke sebuah istana emas yang indah sekali… dan kemudian Ratu dibaringkan di atas sebuah dipan, di tempat itu lah seekor gajah putih memegang sekuntum bunga teratai di belalainya masuk ke kamar, mengelilingi sang Ratu sebanyak tiga kali, kemudian masuk ke perut Sang Ratu melalui perut sebelah kanan.
Ratu Maya menceritakan mimpinya tersebut kepada Raja, kemudian Raja memanggil para Brahmana untuk menanyakan arti mimpi tersebut. Para Brahmana menjelaskan kepada Raja bahwa Ratu akan mengandung seorang bayi laki-laki yang kelak akan menjadi Cakkavati (Raja dari semua Raja) atau akan menjadi orang Suci. Kemudian Ratu Maya mengandung, 10 bulan kemudian dalam perjalanan menuju Devadaha, Ratu beristirahat di taman Lumbini, dan melahirkan Sidharta Gautama di bawah pohon Sala, waktu itu tepat bulan purnama di bulan Waisak. Tujuh hari kemudian, Ratu Maya meninggal, dan Raja kemudian menikahi Pajapati yang juga adik dari Ratu Maya untuk merawat Sidharta.
Raja Sudhodana sangat menginginkan SIdharta Gautama menjadi seorang Raja daripada menjadi seorang Suci. Para Brahmana mengingatkan Raja Sudhodana bahwa Sidharta Gautama tidak boleh melihat 4 hal semasa hidupnya, yaitu orang tua, orang sakit, orang mati, dan pertapa. Karena apabila Sidharta Gautama melihat ke empat hal tersebut, dia akan menjalani hidup untuk menjadi seorang pertapa. Oleh karena itu, Raja menciptakan lingkungan artificial di sekeliling Sidharta Gautama. Ayahnya tidak menginginkan dia melihat bahwa ada yang tidak beres dengan kehidupan ini, supaya kelak Sidharta tumbuh sebagai seorang Maha Raja dan bukan sebagai seorang guru spiritual.
SAM_0375 -- Buddhabuch - Chiang Khong, Thailand -- 10062011
Hidup tanpa pernah melihat dan merasakan segala macam penderitaan, Sidharta menikmati kehidupan penuh dengan kesenangan dan kemewahan. Setiap keinginannya terpenuhi. “Saya mengenakan pakaian yang paling mahal, saya makan makanan yang paling lezat dan bergizi, saya di kelilingi oleh wanita-wanita cantik” Demikian kata Sang Buddha. Pada suatu musim hujan, Sidharta tinggal di istana dan sedang di hibur oleh para musisi dan wanita penari, tidak pernah terpikirkan olehnya untuk meninggalkan istana, kehidupan begitu sempurna. Ayahnya menikahkan Sidharta dengan Yasodhara yang kelak melahirkan anaknya yang diberi nama Rahula. Selama 29 tahun Sidharta menikmati kehidupan kerajaan penuh kemewahan hingga pada akhirnya gelembung kenikmatan dan kesenangan tersebut meletus.
Raja melakukan apa pun supaya Sidharta tidak melihat penderitaan hidup. Tetapi suatu hari Sidharta jalan-jalan keluar dari istana bersama beberapa pengawalnya. Di dalam perjalanannya yang pertama kali, dia melihat ada orang tua yang bungkuk di pinggir jalan, rambutnya putih, badannya kurus, kulitnya kasar dan keriputan. Kemudian dia bertanya kepada pengawalnya “siapa ini? Kenapa dia terlihat berbeda dan lemah?”. Pelayannya menjawab, dia adalah orang tua, manusia tidak akan selamanya muda dan kuat, Tuanku.
SAM_2017--Wat Luang, Chiang Khong, Thailand--16012013 (1)
Kemudian pada perjalanan berikutnya Sidharta melihat orang sakit terbaring di pinggir jalan, dan dia tidak mengerti apa yang sedang dia lihat. Kemudian dia bertanya kepada pengawalnya dan pengawalnya menjawab bahwa itu adalah orang sakit, dan itu terjadi pada kita semua, semua orang akan sakit, dan jangan berpikir bahwa anda adalah seorang pangeran maka anda tidak bisa sakit, ayah anda bisa sakit, ibu anda bisa sakit, semua orang akan sakit.
Sepulang dari perjalanannya yang ke dua, sesuatu berkecamuk di dalam diri Sidharta setelah dia melihat horor demi horor. Pada perjalanannya yang ke tiga, Sidharta melihat mayat dan mulai mengenal bahwa segala sesuatu dalam hidup ini tidak permanen dan kematian adalah nyata. 29 tahun tertutup dari segala penderitaan manusia membuat Sidharta tergoncang hebat, dan dia berpikir… “ini semua akan terjadi juga pada diriku. Saya akan menjadi tua, saya juga akan menjadi sakit, dan saya juga akan mati. Bagaimana caranya saya menghadapi semua ini?” Itu adalah pertanyaan yang universal dari setiap manusia.
Kemudian pada perjalanannya yang ke empat, dia melihat seorang pertapa, seorang spiritual seeker. Orang yang hidup dengan cara yang berbeda dari orang pada umumnya, untuk melepaskan diri dari kehidupan yang tidak permanen dan tidak lepas dari penderitaan.
Usia 29 tahun, menemukan dirinya sedang berada dalam suatu masalah besar, Sidharta memutuskan untuk memahami sifat alami dari penderitaan, yang pada akhirnya membawa Sidharta meninggalkan Istana dan meninggalkan segala hal-hal keduniawian. Pada saat itu, istrinya Yasodhara melahirkan seorang bayi laki-laki, dan Sidharta memberi nama Rahula yang artinya adalah belenggu dan perubahan. Karena bagi Sidharta, bayi lelakinya akan membuat dirinya terpenjara.
Pada suatu malam di musim panas, Sidharta mengunjungi ruang tidur istrinya dan mendapatkan bahwa istrinya sedang tidur sambil merangkul bayinya Rahula. “Apabila saya mengangkat tangan istriku, menggendong anakku, pasti akan memberatkan langkah ku untuk meninggalkan mereka” pikir Sang Buddha. Maka, dia membalikkan badan dan memanjat turun dari Istana, dan pergi meninggalkan Istana bersama kuda kesayangannya yang bernama Kanthaka.
tidur
Pada saat Sidharta meninggalkan Istana, Mara – dewa nafsu menghampiri Sidharta, mengatakan kepada Sidharta “Kamu ditakdirkan untuk memerintah sebuah kerajaan yang BESAR, seluruh India… Kembali lah ke Istana dan segala kekuasaan di dunia ini akan menjadi milikmu..!” Sidharta menolak, di dalam kegundahan hatinya saat meninggalkan orang tuanya, istrinya, dan anaknya yang baru saja lahir, Sidharta terus melaju bersama Kanthaka kudanya.
Tidak ada kebijaksanaan yang di dapatkan tanpa pengorbanan.
Untuk pertama kalinya Sidharta menjalani hidup sendirian, duduk di pinggir sungai Gangga, “Meskipun ayah dan ibu ku bersedih dan bercucuran air mata, saya menutup mata dan telinga, memakai jubah saya, berangkat dari memiliki rumah menjadi gelandangan tanpa rumah, saya telah di lukai dengan dalam oleh kenikmatan duniawi, dan sekarang saya keluar untuk mencari kedamaian hidup”.
Suatu ketika sebagai seorang Pangeran yang di puja dan memiliki segalanya, sekarang menjadi seorang pengemis, hidup mengandalkan sumbangan dari orang asing yang tidak di kenal, tidur tanpa alas di atas tanah dan di tengah hutan belantara, tinggal bersama binatang buas, dan tempat di mana setan-setan dan roh-roh halus bergentayangan.
Pada saat itu, Sidharta adalah seorang “pencari”, dia belum memiliki doktrin di dalam dirinya, tidak memiliki pemahaman apa-apa, dan tidak memiliki solusi apa-apa, tetapi dia mengenali pokok permasalahannya, di dalam hidup, manusia akan menjadi tua, sakit, dan mati.
Selama berabad-abad bahkan sebelum zaman Sang Buddha sudah terdapat berbagai macam agama dengan ritual keagamaannya. Pada saat Sidharta memutuskan untuk meninggalkan keduniawian, bergabung bersama ribuan petapa lainnya, melepaskan segala apa yang di miliki, melakukan praktik hidup yang keras dan sederhana serta bermeditasi dengan tujuan supaya terlepas dari siklus hidup, mati, dan terlahirkan kembali, atau yang kita kenal dengan istilah reinkarnasi.
Penderitaan tidak berasal dari kelahiran, dan tidak berakhir pada saat kematian, penderitaan tidak ada akhirnya, kecuali seseorang menemukan jalan keluar dari siklus tersebut yaitu menjadi tercerahkan, yaitu menjadi seorang Buddha. Pada zaman tersebut di India, di yakini bahwa kematian bukan lah akhir dari segalanya, tetapi kematian membawa kepada penderitaan yang lebih menyiksa.
Di kisahkan bahwa Sidharta pernah hidup di berbagai alam sebelum hidup di alam manusia. Sidharta pernah hidup sebagai binatang, pernah menjadi manusia, baik pria mau pun wanita, pernah juga menjadi Dewa. Menjalani kehidupan dalam berbagai bentuk. Kemudian secara perlahan-lahan dengan latihan yang semakin dalam, dengan kebijaksanaan, sehingga akhirnya Sidharta menjadi tercerahkan dan menjadi Sang Buddha.
Di dalam perjalanannya, Sidharta bertemu dengan seorang guru spiritual dan beliau mengatakan kepada Sidharta “kebenaran tidak akan datang dari latihan dan ritual keagamaan. Tetapi kita harus hidup di dalam ajaran tersebut, kamu boleh ikut denganku kalau mau”.
Guru spiritual pada zaman itu sudah mengajarkan yoga dan meditasi, mengajarkan bagaimana pikiran dapat di jinakkan, dan pada zaman itu terdapat banyak sekali sekolah yoga dan meditasi. Yoga bukan hanya badan, tetapi Yoga memberikan benefit terhadap badan kita dengan berbagai cara, dan tujuan utama dari yoga adalah untuk mencapai keadaan meditatif yang mendalam, yang mana tidak bisa didapatkan dengan mudah dan cepat, tetapi melalui proses latihan yang disiplin.
Meskipun Yoga kelihatannya fokus pada kontrol terhadap badan, tetapi sebenarnya Yoga adalah disiplin spiritual kuno yang tujuan utamanya adalah untuk menenangkan pikiran. Namun, praktik meditasi yoga tidak mensolusikan permasalahan bagi Sidharta yaitu mengakhiri penderitaan, dan praktik meditasi hanya memberikan temporary solution, memberikan ketenangan yang bersifat sementara. Sidharta tidak puas dan kemudian Sidharta pergi meninggalkan gurunya yang pertama, kemudian ketemu dengan guru yang ke dua, hasilnya tetap sama. Sehingga Sidharta meninggalkan juga guru tersebut.
guru yoga
Sidharta Gautama melanjutkan perjalanannya sendiri, mencari jawaban atas pertanyaannya, kenapa manusia menderita? Apakah ada jalan keluar? Sidharta mencoba, mencoba, dan mencoba.. mencari dan mencari… pernah hidup di dalam kemewahan yang ekstrim, dan sekarang dia hidup di dalam “pembinasaan” yang ekstrim. Di antara para pertapa yang meninggalkan keduniawian, terdapat sebuah praktik spiritual yang dengan ketat melakukan hukuman terhadap badan. Di yakini bahwa menghukum badan merupakan cara untuk mendapatkan kebijaksanaan dan ketenangan.
Di dalam perjalanannya, Sidharta kemudian bertemu dengan 5 orang teman yang menjalankan praktik spiritual tersebut, dan dia ikut di dalam praktik tersebut. Memperlakukan diri dengan disiplin yang sangat tinggi dan keras, melakukan penyiksaan terhadap badan, menggantungkan diri di pohon dan bermeditasi dengan kepala menghadap ke bawah, tidak makan selama berhari-hari. Badan di yakini merupakan sumber penderitaan, misalnya usia tua, membuat badan menjadi lemah dan rusak, penyakit menyebabkan sakit dan penderitaan pada badan, dan kematian merupakan pelepasan jiwa dari badan atau disfungsi dari badan, sehingga konsepnya adalah bahwa apabila seseorang sanggup untuk keras terhadap badannya sendiri dengan intensitas yang cukup, maka orang tersebut akan lepas dari penderitaan yang bisa dibawakan oleh keterbatasan badan, orang tersebut dapat melampaui keterbatasan badan, teman-teman Sidharta pada saat itu menjalankan praktik spiritual tersebut, dengan menurunkan kebutuhan hidup hingga ke level paling rendah, makan dan minum secukupnya asal cukup untuk bertahan hidup, tidak ada proteksi terhadap badan dari panas dan dingin, duduk di tengah cuaca yang ekstrim dingin dan hujan, bermeditasi berjam-jam setiap hari. Dan praktik seperti ini masih ada di India pada zaman kita sekarang ini. Diyakini bahwa dengan menundukkan keinginan daging, maka bisa di dapatkan kekuatan spiritual.
Lelah, Sidharta menjalankan praktik spiritual seperti itu dan menghukum dirinya selama 6 tahun, Dia menyiksa dirinya dan berusaha menghancurkan apa saja yang dia lihat sebagai hal yang buruk di dalam dirinya, setiap hal-hal duniawi, setiap pikiran kemarahan, setiap nafsu, setiap keinginan, apabila seseorang sanggup menghapus semua itu dengan kekuatan keinginan, maka orang tersebut akan mengalami suatu proses transformasi yang membawa dirinya melampaui manusia biasa, lepas dari penderitaan. Sidharta mencoba semua itu dan pada akhirnya menjadi seorang pertapa yang paling ekstrim di bandingkan dengan ke 5 temannya yang lain, makan hanya 1 butir nasi per hari, minum air kencingnya sendiri, berdiri bermeditasi dengan 1 kaki selama berjam-jam di tengah cuaca yang ekstrim, tidur di atas tanah tanpa alas, tetapi semuanya itu dia lakukan dengan sepenuh hati.
“Badan saya menjadi kurus kering, tulang-tulang saya menjadi sangat rapuh, menonjol keluar di lapisi hanya oleh kulit yang kering dan tipis, rona mata saya gelap seperti sumur, saya gemetaran dan menggigil oleh hembusan angin dingin” Kata Sidharta. Tetapi dia tetap melanjutkannya, mendorong badannya sampai pada limit paling ekstrim yang bisa di tahan, sampai pada akhirnya dia menyadari bahwa dia tidak bisa mendapatkan apa yang dia mau dari praktik seperti itu.
Menyiksa badan, badan menjadi sakit dan lemah, seluruh perhatian menjadi tertuju kepada badan, tidak ada yang lain. Sidharta menyerah atas latihan yang keras tersebut dan dia menemukan bahwa itu bukan jalan yang benar. Dia menemukan bahwa dirinya hampir mati, dan kemudian terbersit sebuah ingatan. Dia ingat suatu moment saat masih remaja, duduk di samping sungai sambil memandangi air sungai yang jernih dengan suara air gemericik, bersama dengan ayahnya Raja Sudhodana, ketika itu dunia terasa begitu sempurna baginya.
Beberapa tahun sebelumnya ketika Sidharta masih kecil, ayahnya Raja Sudhodana membawanya ke suatu festival musim semi untuk menonton tari-tarian. Ketika dia sedang menonton festival tarian musim semi, dia melihat ke bawahnya ada rerumputan dan ada sebuah ranting. Dia menginjak ranting tersebut dan kemudian tanpa sengaja ikut terinjak mati seekor serangga di bawahnya, pada saat itu dia merasa sangat sedih, dan dia melihat bahwa bagaimana semua yang ada di dalam kehidupan ini saling terkait satu sama lain.
Inti dari Buddhisme adalah kasih sayang, dengan kasih sayang yang mendalam terhadap setiap hal yang kita temui, baik itu orang lain, binatang, tumbuhan, atau planet ini secara keseluruhan, seluruh makhluk hidup di bumi ini, pepohonan dan sungai, semuanya terhubung satu sama lain.
Setelah berhenti dari praktik spiritual yang ekstrim, ketika sedang duduk pada hari itu, suatu hari yang indah, dengan cuaca yang cerah, pikiran Sidharta melayang-layang, kemudian dengan sedikit memaksa, dia duduk dalam posisi meditasi yoga dengan kaki bersila. Alam memberikan tempat dan perlindungan kepada Sidharta, seiring dengan berlalunya waktu, matahari berpindah posisi, bayangan pepohonan dan rerumputan bergeser, tetapi di kisahkan bahwa bayangan dari pohon Bodhi di mana Sang Buddha duduk berteduh, tidak berpindah posisi dan terus menaungi Sidharta. Sidharta merasakan sukacita, dan kemudian dia berkata “Saya tidak bisa terus menerus merasakan suka cita ini kalau saya tidak makan, maka sebaiknya saya makan”. Kemudian seorang gadis desa lewat, namanya adalah Sujata, dia memberikan semangkuk bubur beras kepada Sidharta “Ini, makan lah”, kata Sujata. Kemurah-hatian Sujata ibarat cahaya obor yang memberikan rahmat (pengampunan dengan penuh kasih sayang) kepada Sidharta.
sujata
Kemudian Sidharta mengingat semakin jauh dan jauh dan dia ingat akan istrinya, anaknya, dan dari semua emosi perasaan ini, dia merasakan kehilangan, rindu. Setelah Sidharta selesai makan bubur beras tersebut, dia merasakan sukacita, hati yang penuh syukur, dia merasakan “cukup” pada saat itu. Dan kemudian Sidharta melekat kepada rasa cukup tersebut. Kemudian muncul kembali pertanyaan awalnya, hidup dan penderitaan, hidup dan perubahan, masih ada masalah, masih ada penderitaan, masalah ini belum selesai.
Lima orang pertapa temannya melihat Sidharta makan dan minum, dan mereka meninggalkan Sidharta dengan perasaan jijik. “Dia suka dengan kemewahan, dia serakah” dan mereka pergi meninggalkan Sidharta. Tetapi, orang yang kelak akan menjadi Buddha ini sadar bahwa penyiksaan diri yang ekstrim bukanlah jalan yang tepat. Kita dapat hidup sebagai makhluk hidup yang normal, kita bisa makan dan minum, dan bahkan kita memang perlu makan dan minum supaya menjadi makhluk hidup yang normal, supaya dapat mendapatkan kesadaran atas apa yang kita cari.
Sidharta mengikuti 2 orang guru, dan tidak menemukan jawaban atas masalahnya. SIdharta menghukum badan dan pikirannya, yang hampir membunuhnya, dan sekarang dia tau apa yang harus dia lakukan, untuk mendapatkan jawaban atas pertanyaannya, dia akan melihat ke dalam diri sendiri dan percaya pada dirinya sendiri.
Bodhgaya, sebuah kota kecil di bagian timur laut India. Pada saat itu musim semi dan bulan terbit menggantikan matahari. Sidharta duduk di bawah pohon bodhi dan mulai bermeditasi. Sebelum matahari terbit, pencarian lama Sidharta akan segera berakhir, di bawah naungan alam dan keindahannya,

Sidharta mengatakan kepada dirinya, “saya tidak akan berpindah dari tempat ini, sampai dengan saya menyelesaikan masalahnya, biarlah tulang saya mengering, biarlah kulit saya rusak bersama dengan darah dan daging saya, saya menerima dan menyambut semua itu, tetapi saya tidak akan berpindah dari tempat ini sebelum mendapatkan kebijaksanaan dan jawaban atas permasalahan kehidupan”.
Di kisahkan, pada saat itu Mara kembali datang dan menantang Sidharta, dengan pasukan setan menyerang Sidharta, dan Sidharta tidak bergerak, hingga akhirnya senjata dan serangan dari Mara dan pasukannya berubah menjadi bunga. Mara; dewa nafsu bertambah gusar, dia gusar karena Sidharta akan mendapatkan pencerahan dan menjadi seorang Buddha, dan mengalahkan Mara, dewa nafsu yang menguasai dunia ini. Mara tidak menyerah, kemudian dia mengirim 3 orang putrinya untuk menggoda Sidharta, Sidharta tetap tidak bergeming, ibarat gunung Himalaya, cuaca dan badai silih berganti melalui gunung Himalaya, dan gunung tetap gunung, dia tidak bergerming dan semuanya berlalu. Sidharta duduk dalam keadaan penuh kesadaran atas segalanya, tidak terlena, dia membuat Mara menjadi frustasi.
godaan
Sidharta bertahan terhadap setiap godaan dari Dewa Mara. Kemudian Mara memiliki sebuah final test, Mara bertanya, siapa yang akan menjadi saksi bahwa Sidharta telah mendapatkan kebijaksanaan tertinggi. Sidharta tidak mengatakan apa-apa, dan dengan jarinya menyentuh ke tanah, dia mengatakan “Bumi adalah saksi saya, Mara kamu bukan lah Bumi ini, dan Bumi ada di sini tepat di bawah jari saya”. Mara kalah, dan kabur bersama dengan pasukan setannya.
Sidharta bermeditasi sepanjang malam, dan seluruh ingatan kehidupan masa lampau datang silih berganti, dia ingat seluruh kehidupan masa lalunya. Kesadaran Sidharta semakin berkembang dan meluas hingga ke masa lalu, dia melihat proses kelahiran dan kematian, dan di lahirkan kembali, dan apa yang di lalui oleh semua makhluk hidup, dia seolah-olah di berikan penglihatan tentang cara kerja alam semesta secara keseluruhan.
Pada saat matahari terbit, “pikiran saya dalam keadaan yang tenang” kata Sidharta. Dia telah tercerahkan, menjadi seorang buddha. Sesuatu yang baru terbuka untuk dirinya, yang dia sebut dengan nirwana, “Pada saat ini seluruh makhluk hidup bangun dari tidur bersamaku”, pada saat ujung jarinya menyentuh bumi, dan bumi sebagai saksi, melihat matahari pagi terbit, dan seluruh makhluk hidup bangun bersama.
Apa yang di alami oleh Sidharta bukanlah suatu keadaan yang baru yang lari dari realita yang ada. Hanya saja dia menyadari bahwa dirinya selalu ada di nirwana, dan realita itu sendiri adalah nirwana. Adalah ketidak-realitaan kita, dan ketidaktahuan kita, yang membuat kita terpisah dari alam semesta, kita sendiri adalah alam semesta.
Nirwana adalah saat ini, di tempat ini, dan gerbangnya adalah sekarang ini, dan jalannya adalah badan dan pikiran kita ini, tidak ada yang perlu di tuju, tidak ada yang perlu di capai, nirwana bukan lah sesuatu yang di targetkan untuk di capai sesudah kematian, tetapi sederhananya adalah kualitas kehidupan pada detik ini.
Selama berminggu-minggu Sang Buddha tetap bermeditasi di bawah pohon bodhi, damai dan tenang, Sang Buddha tergoda untuk menarik diri dan berada di dalam ketenangan yang mendalam tersebut, daripada mengajarkannya kepada orang lain apa yang telah di temukan olehnya pada perjalanan spiritualnya selama 6 tahun. Dia mengatakan kepada dirinya pada saat itu bahwa tidak akan ada orang yang bisa mengerti tentang ini semua, orang akan mengatakan bahwa saya gila. Buddha melihat sifat alami dari manusia, iri hati, kecemburuan, sifat pikiran yang negatif, seperti ikan yang berenang di air yang dangkal, sehingga pada awalnya Buddha ragu untuk mengajarkan kebijaksanaan yang telah di perolehnya.
Menurut mitos, Dewa Brahma atau Dewa Pencipta datang kepada Buddha dan meminta agar Buddha mengajarkan apa yang telah di perolehnya. “Manusia membutuhkannya, para Dewa membutuhkannya”, kata Dewa Brahma. Sehingga pada akhirnya Sang Buddha memulai perjalanannya mengajar kepada orang-orang, oleh karena kasih sayangnya yang besar.
Ketika kita merasakan apa yang di rasakan oleh orang lain, kita tidak akan mau orang lain tersebut merasakan hal-hal yang buruk, seperti halnya ketika kita merasakan tangan kita, kita tidak akan meletakkan tangan kita di atas tungku api, kita mungkin tidak memiliki kasih sayang terhadap tangan, tetapi kita merasakan sakit sehingga kita tidak mau meletakkan tangan di atas tungku api. Sehingga ketika orang lain merasakan penderitaan, kita akan melakukan yang terbaik untuk membantu mereka.

Perjalanan hidup Siddharta Gautama
Siddhartha Gautama adalah guru spiritual dari wilayah timur laut India yang juga merupakan pendiri Agama Buddha. Ia secara mendasar dianggap oleh pemeluk Agama Buddha sebagai Buddha Agung (Sammāsambuddha) pada masa sekarang. Waktu kelahiran dan kematiannya tidaklah pasti: sebagian besar sejarawan dari awal abad ke 20 memperkirakan kehidupannya antara tahun 563SM sampai 483 SM; baru-baru ini, pada suatu simposium para ahli akan masalah ini,sebagian besar dari ilmuwan yang menjelaskan pendapat memperkirakan tanggal berkisar antara 20 tahun antara tahun 400 SM untuk waktu meninggal dunianya, sedangkan yang lain menyokong perkiraan tanggal yang lebih awal atau waktu setelahnya.Siddhartha Gautama merupakan figur utama dalam agama Buddha, keterangan akan kehidupannya, khotbah-khotbah, dan peraturan keagamaan yang dipercayai oleh penganut agama Buddha dirangkum setelah kematiannya dan dihafalkan oleh para pengikutnya. Berbagai kumpulan perlengkapan pengajaran akan Siddhartha Gautama diberikan secara lisan, dan bentuk tulisan pertama kali dilakukan sekitar 400 tahun kemudian. Pelajar-pelajar dari negara Barat lebih condong untuk menerima biografi Sang Buddha yang dijelaskan dalam naskah Agama Buddha sebagai catatan sejarah.
Orang Tua
Ayah dari Pangeran Siddhartha Gautama adalah Sri Baginda Raja Suddhodana dari Suku Sakya dan ibunya adalah Ratu Mahā Māyā Dewi. Ibunda Pangeran Siddharta Gautama meninggal dunia tujuh hari setelah melahirkan Sang Pangeran. Setelah meninggal, beliau terlahir di alam/surga Tusita, yaitu alam surga luhur. Sejak meninggalnya Ratu Mahā Māyā Dewi, Pangeran Siddharta dirawat oleh Ratu Mahā Pajāpati, bibinya yang juga menjadiisteri Raja Suddhodana.
Riwayat Hidup
Kelahiran
Pangeran Siddharta dilahirkan pada tahun 563 SM di Taman Lumbini, saat Ratu Maha Maya berdiri memegang dahan pohon sal. Pada saat ia lahir, dua arus kecil jatuh dari langit, yang satu dingin sedangkan yang lainnya hangat. Arus tersebut membasuh tubuh Siddhartha. Siddhartha lahir dalam keadaan bersih tanpa noda, berdiri tegak dan langsung dapat melangkah ke arah utara, dan tempat yang dipijakinya ditumbuhi bunga teratai.
Oleh para pertapa di bawah pimpinan Asita Kaladewala, diramalkan bahwa Sang Pangeran kelak akan menjadi seorang Chakrawartin (Maharaja Dunia) atau akan menjadi seorang Buddha. Hanya pertapa Kondañña yang dengan tegas meramalkan bahwa Sang Pangeran kelak akan menjadi Buddha. Mendengar ramalan tersebut Sri Baginda menjadi cemas, karena apabila Sang Pangeran menjadi Buddha, tidak ada yang akan mewarisi tahta kerajaannya. Oleh pertanyaan Sang Raja, para pertapa itu menjelaskan agar Sang Pangeran jangan sampai melihat empat macam peristiwa. Bila tidak, ia akan menjadi pertapa dan menjadi Buddha. Empat macam peristiwa itu adalah:
1.                  Orang tua,
2.                  Orang sakit,
3.                  Orang mati,
4.                  Seorang pertapa.
Masa Kecil
Sejak kecil sudah terlihat bahwa Sang Pangeran adalah seorang anak yang cerdas dan sangat pandai, selalu dilayani oleh pelayan-pelayan dan dayang-dayang yang masih muda dan cantik rupawan di istana yang megah dan indah. Pada saat berusia 7 tahun, Pangeran Siddharta mempunyai 3 kolam bunga teratai, yaitu:
·                     Kolam Bunga Teratai Berwarna Biru (Uppala)
·                     Kolam Bunga Teratai Berwarna Merah (Paduma)
·                     Kolam Bunga Teratai Berwarna Putih (Pundarika)
Dalam Usia 7 tahun Pangeran Siddharta telah mempelajari berbagai ilmu pengetahuan. Pangeran Siddharta menguasai semua pelajaran dengan baik. Dalam usia 16 tahun Pangeran Siddharta menikah dengan Puteri Yasodhara yang dipersuntingnya setelah memenangkan berbagai sayembara. Dan saat berumur 16 tahun, Pangeran memiliki tiga Istana, yaitu:
·                     Istana Musim Dingin (Ramma)
·                     Istana Musim Panas (Suramma)
·                     Istana Musim Hujan (Subha)
Masa Dewasa
Kata-kata pertapa Asita membuat Raja Suddhodana tidak tenang siang dan malam, karena khawatir kalau putra tunggalnya akan meninggalkan istana dan menjadi pertapa, mengembara tanpa tempat tinggal. Untuk itu Baginda memilih banyak pelayan untuk merawat Pangeran Siddharta, agar putra tunggalnya menikmati hidup keduniawian. Segala bentuk penderitaan berusaha disingkirkan dari kehidupan Pangeran Siddharta, seperti sakit, umur tua, dan kematian, sehingga Pangeran hanya mengetahui kenikmatan duniawi.
Suatu hari Pangeran Siddharta meminta izin untuk berjalan di luar istana, dimana pada kesempatan yang berbeda dilihatnya "Empat Kondisi" yang sangat berarti, yaitu orang tua, orang sakit, orang mati dan orang suci. Pangeran Siddhartha bersedih dan menanyakan kepada dirinya sendiri, "Apa arti kehidupan ini, kalau semuanya akan menderita sakit, umur tua dan kematian. Lebih-lebih mereka yang minta pertolongan kepada orang yang tidak mengerti, yang sama-sama tidak tahu dan terikat dengan segala sesuatu yang sifatnya sementara ini!". Pangeran Siddharta berpikir bahwa hanya kehidupan suci yang akan memberikan semua jawaban tersebut.
Selama 10 tahun lamanya Pangeran Siddharta hidup dalam kesenangan duniawi. Pergolakan batin Pangeran Siddharta berjalan terus sampai berusia 29 tahun, tepat pada saat putra tunggalnya Rahula lahir. Pada suatu malam, Pangeran Siddharta memutuskan untuk meninggalkan istananya dan dengan ditemani oleh kusirnya, Canna. Tekadnya telah bulat untuk melakukan Pelepasan Agung dengan menjalani hidup sebagai pertapa.
Setelah itu Pangeran Siddhartha meninggalkan istana, keluarga, kemewahan, untuk pergi berguru mencari ilmu sejati yang dapat membebaskan manusia dari usia tua, sakit dan mati. Pertapa Siddharta berguru kepada Alāra Kālāma dan kemudian kepada Uddaka Ramāputra, tetapi tidak merasa puas karena tidak memperoleh yang diharapkannya. Kemudian beliau bertapa menyiksa diri dengan ditemani lima orang pertapa.
Masa Pengembaraan
Didalam pengembaraannya, pertapa Gautama mempelajari latihan pertapaan dari pertapaBhagava dan kemudian memperdalam cara bertapa dari dua pertapa lainnya, yaitu pertapaAlara Kalama dan pertapa Udraka Ramputra. Namun setelah mempelajari cara bertapa dari kedua gurunya tersebut, tetap belum ditemukan jawaban yang diinginkannya. Sehingga sadarlah pertapa Gautama bahwa dengan cara bertapa seperti itu tidak akan mencapaiPencerahan Sempurna. Kemudian pertapa Gautama meninggalkan kedua gurunya dan pergi ke Magadha untuk melaksanakan bertapa menyiksa diri di hutan Uruwela, di tepi Sungai Nairanjana yang mengalir dekat Hutan Gaya. Walaupun telah melakukan bertapa menyiksa diri selama enam tahun di Hutan Uruwela, tetap pertapa Gautama belum juga dapat memahami hakikat dan tujuan dari hasil pertapaan yang dilakukan tersebut.
Pada suatu hari pertapa Gautama dalam pertapaannya mendengar seorang tua sedang menasihati anaknya di atas perahu yang melintasi sungai Nairanjana dengan mengatakan:
Bila senar kecapi ini dikencangkan, suaranya akan semakin tinggi. Kalau terlalu dikencangkan, putuslah senar kecapi ini, dan lenyaplah suara kecapi itu. Bila senar kecapi ini dikendorkan, suaranya akan semakin merendah. Kalau terlalu dikendorkan, maka lenyaplah suara kecapi itu.
Nasehat tersebut sangat berarti bagi pertapa Gautama yang akhirnya memutuskan untuk menghentikan tapanya lalu pergi ke sungai untuk mandi. Badannya yang telah tinggal tulang hampir tidak sanggup untuk menopang tubuh pertapa Gautama. Seorang wanita bernama Sujata memberi pertapa Gautama semangkuk susu. Badannya dirasakannya sangat lemah dan maut hampir saja merenggut jiwanya, namun dengan kemauan yang keras membaja, pertapa Gautama melanjutkan samadhinya di bawah pohon bodhi (Asetta) di Hutan Gaya, sambil ber-prasetya,
"Meskipun darahku mengering, dagingku membusuk, tulang belulang jatuh berserakan, tetapi aku tidak akan meninggalkan tempat ini sampai aku mencapai Pencerahan Sempurna."
Perasaan bimbang dan ragu melanda diri pertapa Gautama, hampir saja Beliau putus asa menghadapi godaan Mara, setan penggoda yang dahsyat. Dengan kemauan yang keras membaja dan dengan iman yang teguh kukuh, akhirnya godaan Mara dapat dilawan dan ditaklukkannya. Hal ini terjadi ketika bintang pagi memperlihatkan dirinya di ufuk timur.
Pertapa Gautama telah mencapai Pencerahan Sempurna dan menjadi Samyaksam-Buddha (Sammasam-Buddha), tepat pada saat bulan Purnama Raya di bulan Waisak ketika ia berusia 35 tahun (menurut versi Buddhisme Mahayana, 531 SM pada hari ke-8 bulan ke-12, menurut kalender lunar. Versi WFB, pada bulan Mei tahun 588 SM). Pada saat mencapai Pencerahan Sempurna, dari tubuh Sang Siddharta memancar enam sinar Buddha (Buddharasmi) dengan warna biru yang berarti bhakti; kuning mengandung arti kebijaksanaan dan pengetahuan; merah yang berarti kasih sayang dan belas kasih; putihmengandung arti suci; jingga berarti giat; dan campuran kelima sinar tersebut.
Tujuh Minggu Setelah Pencerahan Sempurna
1.      Selama minggu pertama,
Sang Buddha duduk bermeditasi di bawah pohon Bodhi dan menikmati keadaan Nibbana, yaitu keadaan yang terbebas sama sekali dari gangguan-gangguan batiniah, sehingga batin-Nya tenang sekali dan penuh kedamaian.
2.      Selama minggu kedua,
Sang Buddha berdiri beberapa kaki dari pohon Bodhi dan memandanginya terus-menerus dengan mata tidak berkedip selama satu minggu sebagai ucapan terima kasih dan penghargaan kepada pohon yang telah memberi-Nya tempat untuk berteduh sewaktu berjuang untuk mencapai tingkat Buddha. Mengikuti apa yang telah dilakukan oleh Sang Buddha dahulu, sekarang pun umat Buddha memberi penghormatan kepada pohon Bodhi.
3.      Selama minggu ketiga,
Sang Buddha berjalan mondar-mandir di atas jembatan emas yang diciptakan-Nya di udara karena melalui mata dewa-Nya, Sang Buddha mengetahui bahwa ada dewa-dewa di surga yang masih meragukan apakah Beliau benar telah mencapai Penerangan Agung.
4.      Selama minggu keempat,
Sang Buddha berdiam di kamar batu permata yang diciptakan-Nya. Di kamar permata itulah Sang Buddha bermeditasi mengenai Abhidhamma, yaitu ajaran mengenai ilmu jiwa dan metafisika. Batin dan badan jasmani-Nya telah menjadi demikian bersih, sehingga mengeluarkan sinar-sinar berwarna biru, kuning, merah, putih, jingga dan campuran kelima warna tersebut. Kini warna-warna tersebut diabadikan sebagai bendera umat Buddha.
5.      Selama minggu kelima,
Sang Buddha bermeditasi di bawah pohon Ajapala Nigrodha (pohon beringin), tidak jauh dari pohon Bodhi. Di sinilah tiga orang anak Mara yaitu Tanha, Arati, dan Raga masih berusaha untuk mengganggu-Nya. Mereka menampakkan diri sebagai tiga orang gadis yang elok dan menggiurkan yang dengan berbagai macam tarian yang erotis (penuh nafsu birahi), diiringi nyanyian yang merdu dan bisikan yang memabukkan, berusaha untuk merayu dan menarik perhatian Sang Buddha. Tetapi Sang Buddha menutup mata-Nya dan tidak mau melihat, sehingga akhirnya tiga orang dewi hawa nafsu meninggalkan Sang Buddha.
6.      Selama minggu keenam,
Sang Buddha bermeditasi di bawah pohon Mucalinda. Karena waktu itu turun hujan lebat, maka datanglah seekor ular kobra yang besar sekali dan melibatkan badannya tujuh kali memutari badan Sang Buddha dan kepalanya memayungi Sang Buddha supaya jangan sampai terkena air hujan. Waktu hujan berhenti, ular itu berubah bentuknya menjadi seorang anak muda. Pada waktu itulah Sang Buddha mengucapkan kata kata sebagai berikut:
“Berbahagialah mereka yang bisa merasa puas. Berbahagialah mereka yang dapat mendengar dan melihat kesunyataan. Berbahagialah mereka yang bersimpati kepada makhluk-makhluk lain di dunia ini. Berbahagialah yang hidup di dunia dengan tidak melekat kepada apa pun dan mengatasi hawa nafsu. Lenyapnya ‘Sang Aku’ merupakan berkah yang tertinggi.”
7.      Selama minggu ketujuh,
Sang Buddha bermeditasi di bawah pohon Rajayatana. Pada hari ke-50 pagi hari, setelah berpuasa selama tujuh minggu, dua orang pedagang lewat di dekat tempat Sang Buddha sedang duduk. Mereka, Tapussa dan Bhallika, menghampiri Sang Buddha dan mempersembahkan makanan dari beras dan madu. Sang Buddha agak tertegun sejenak karena mangkuk yang Beliau terima dari Sujata telah dihanyutkan di Sungai Neranjara dan sejak zaman dahulu tidak pernah seorang Buddha menerima makanan dengan kedua tangan-Nya. Tiba-tiba empat orang dewa dari empat penjuru alam (Catumaharaja yaitu Dhatarattha dari sebelah Timur, Virulhaka dari Selatan, Virupakkha dari Barat, dan Kuvera dari Utara) datang menolong dengan membawa seorang satu mangkuk yang dipersembahkan kepada Sang Buddha. Sang Buddha menerima empat mangkuk tersebut dan dengan kekuatan gaib-Nya dijadikan satu mangkuk.
Dengan demikian Sang Buddha dapat menerima persembahan dari Tapussa dan Bhallika. Setelah Sang Buddha selesai makan kedua pedagang itu memohon agar diterima sebagai pengikut. Mereka diterima sebagai upasaka-upasaka pertama yang berlindung kepada Sang Buddha dan Dhamma. Kemudian mereka mohon diberikan suatu benda yang dapat mereka bawa pulang, Sang Buddha mengusap kepala-Nya dengan tangan kanan dan memberikan beberapa helai rambut (Kesa Dhatu = Relik Rambut). Tapussa dan Bhallika dengan gembira menerima Kesa Dhatu tersebut dan setelah tiba di tempat mereka tinggal, mereka mendirikan sebuah pagoda untuk memuja Kesa Dhatu ini. Setelah makan, Tapussa dan Bhallika melanjutkan perjalanannya, Sang Buddha merenung apakah Dhamma yang Beliau temukan akan diajarkan kepada khalayak ramai atau tidak. Sebab Dhamma itu dalam sekali dan sulit untuk dimengerti
Sang Buddha segera berangkat menuju ke Taman Rusa Benares. Dalam perjalanan ke Sungai Gaya, Sang Buddha bertemu dengan seorang pertapa Ajivaka bernama Upaka. Terpesona melihat Sang Buddha yang wajah-Nya demikian cemerlang, Upaka bertanya siapakah guru Sang Buddha. Sang Buddha menjawab bahwa Beliau adalah orang Yang Maha Tahu dan tidak mempunyai guru siapa pun juga. Tetapi Upaka nampaknya sama sekali tidak terkesan. Ia menggelengkan kepala dan kemudian meneruskan perjalanannya, sedangkan Sang Buddha sendiri juga melanjutkan perjalanan-Nya ke Benares
Penyebaran Agama Buddha
            Setelah mencapai Pencerahan Sempurna, pertapa Gautama mendapat gelar kesempurnaan yang antara lain: Buddha Gautama, Buddha Shakyamuni, Tathagata('Ia Yang Telah Datang', Ia Yang Telah Pergi'), Sugata ('Yang Maha Tahu'), Bhagava ('Yang Agung') dan sebagainya. Lima pertapa yang mendampingi Beliau di hutan Uruwela merupakan murid pertama Sang Buddha yang mendengarkan khotbah pertama Dhammacakka Pavattana, dimana Beliau menjelaskan mengenai Jalan Tengah yang ditemukan-Nya, yaitu Delapan Ruas Jalan Kemuliaan termasuk awal khotbahNya yang menjelaskan "Empat Kebenaran Mulia".
Buddha Gautama berkelana menyebarkan Dharma selama empat puluh lima tahun lamanya kepada umat manusia dengan penuh cinta kasih dan kasih sayang, hingga akhirnya mencapai usia 80 tahun, saat ia menyadari bahwa tiga bulan lagi ia akan mencapai Parinibbana.Sang Buddha dalam keadaan sakit terbaring di antara dua pohon sala di Kusinagara, memberikan khotbah Dharma terakhir kepada siswa-siswa-Nya, lalu Parinibbana (versi Buddhisme Mahayana, 486 SM pada hari ke-15 bulan ke-2 kalender Lunar. Versi WFB pada bulan Mei, 543 SM).
Sifat Agung Sang Buddha
1.            Berusaha menolong semua makhluk.
2.            Menolak semua keinginan nafsu keduniawian.
3.            Mempelajari, menghayati dan mengamalkan Dharma.
4.            Berusaha mencapai Pencerahan Sempurna.
Buddha Gautama pertama melatih diri untuk melaksanakan amal kebajikan kepada semua makhluk dengan menghindarkan diri dari sepuluh tindakan yang diakibatkan oleh tubuh, ucapan dan pikiran, yaitu
·                     Tubuh (kaya): pembunuhan, pencurian, perbuatan jinah.
·                     Ucapan (vak): penipuan, pembicaraan fitnah, pengucapan kasar, percakapan tiada manfaat.
·                     Pikiran (citta): kemelekatan, niat buruk dan kepercayaan yang salah.
Cinta kasih dan kasih sayang seorang Buddha adalah cinta kasih untuk kebahagiaan semua makhluk seperti orang tua mencintai anak-anaknya, dan mengharapkan berkah tertinggi terlimpah kepada mereka. Akan tetapi terhadap mereka yang menderita sangat berat atau dalam keadaan batin gelap, Sang Buddha akan memberikan perhatian khusus. Dengan Kasih Sayang-Nya, Sang Buddha menganjurkan supaya mereka berjalan di atas jalan yang benar dan mereka akan dibimbing dalam melawan kejahatan, hingga tercapai "Pencerahan Sempurna".
Sebagai Buddha yang abadi, Beliau telah mengenal semua orang dan dengan menggunakan berbagai cara Beliau telah berusaha untuk meringankan penderitaan semua makhluk. Buddha Gautama mengetahui sepenuhnya hakekat dunia, namun Beliau tidak pernah mau mengatakan bahwa dunia ini asli atau palsu, baik atau buruk. Ia hanya menunjukkan tentang keadaan dunia sebagaimana adanya. Buddha Gautama mengajarkan agar setiap orang memelihara akar kebijaksanaan sesuai dengan watak, perbuatan dan kepercayaan masing-masing. Ia tidak saja mengajarkan melalui ucapan, akan tetapi juga melalui perbuatan. Meskipun bentuk fisik tubuh-Nya tidak ada akhirnya, namun dalam mengajar umat manusia yang mendambakan hidup abadi, Beliau menggunakan jalan pembebasan dari kelahiran dan kematian untuk membangunkan perhatian mereka.
Pengabdian Buddha Gautama telah membuat diri-Nya mampu mengatasi berbagai masalah di dalam berbagai kesempatan yang pada hakekatnya adalah Dharma-kaya, yang merupakan keadaan sebenarnya dari hakekat yang hakiki dari seorang Buddha. Sang Buddha adalah pelambang dari kesucian, yang tersuci dari semua yang suci. Karena itu, Sang Buddha adalah Raja Dharma yang agung. Ia dapat berkhotbah kepada semua orang, kapanpun dikehendaki-Nya. Sang Buddha mengkhotbahkan Dharma, akan tetapi sering terdapat telinga orang yang bodoh karena keserakahannya dan kebenciannya, tidak mau memperhatikan dan mendengarkan khotbah-Nya. Bagi mereka yang mendengarkan khotbah-Nya, yang dapat mengerti dan menghayati serta mengamalkan Sifat Agung Sang Buddha akan terbebas dari penderitaan hidup. Mereka tidak akan dapat tertolong hanya karena mengandalkan kepintarannya sendiri.
 
 
 Riwayat dan Ajaran Gautama
"Buddha" bukanlah sebuah nama, melainkan sebuah gelar yang berarti "Yang Bijaksana" atau "Yang Bangkit". Gelar tersebut diberikan kepada Sidharta Gautama yang lahir pada sekitar 563 SM di dekat Kapilavatsu, perbatasan Nepal, 130 mil utara Banaras. Ia dianggap sebagai reinkarnasi terakhir dari serangkaian 550 reinkarnasi (ada pula yang mengatakan ribuan) di mana ia menderita, mengorbankan diri, memenuhi segala kesempurnaan, dan secara bertahap menjadi semakin dekat dengan tujuannya -- mendapatkan kebijaksanaan bagi dirinya sendiri dan semua manusia. Keluarga bangsawannya termasuk dalam klan Sakya, sehingga terkadang Gautama dipanggil dengan sebutan Sakyamuni, orang suci dari Sakya. Ia juga disebut dengan nama Tahtagata, yang mungkin berarti "Yang telah datang" (seperti pendahulunya juga telah datang), baik oleh para pengikutnya atau dirinya sendiri.
Tidak ada biografi Gautama yang ditulis sampai seratus tahun setelah kematiannya. Namun begitu, sepertinya ia hidup dalam kemewahan pada masa-masa awal kehidupannya.
Saat remaja, ia menikahi sepupunya, Yasodhara. Setelah menikah, ia pindah ke sebuah istana yang dibangun ayahnya untuknya dan terus menikmati kenyamanan hidup kaum elit. Suatu hari, meski dicegah untuk tidak melihat sisi gelap dari kehidupan, saat ia berjalan menuju taman istana, ia melihat seorang tua, orang sakit, orang mati, dan biksu yang sedang meminta-minta. Sejak itu, ia terus memikirkan kerasnya dunia. Saking terusiknya ia oleh masalah penderitaan manusia, ia merasa sangat perlu untuk keluar dari kehidupannya yang nyaman, yang mungkin dapat mencegahnya mencari jawaban untuk pertanyaan-pertanyaan yang menyiksa pikirannya. Meski disodori berbagai kenikmatan agar ia mengurungkan niatnya, pada suatu malam Gautama menyelinap pergi setelah melihat istri dan anak laki-lakinya sedang tidur (anak laki-laki yang secara simbolis ia beri nama Rahula, yang berarti "belenggu"). Ia meninggalkan rumah, kekayaan, dan masa depan yang cerah untuk mencari jawaban teka-teki kehidupan.
Ia berusia 29 tahun saat mengembara, namun tidak sampai enam tahun, perjalanannya berbuah. Pertama-tama ia menaati ajaran dua pertapa Brahmana terkenal, Alara dan Uddaka. Namun, Gautama tidak dapat menemukan kepuasan karena ajaran tersebut tidak mengatakan bagaimana caranya mengakhiri reinkarnasi.
Selanjutnya, ia bersama kelima temannya menjalani kehidupan pertapaan yang ekstrim di sebuah hutan. Kabarnya, ia hanya makan sedikit nasi sehari sampai tubuhnya yang terawat menjadi kurus kering. Hal tersebut memberinya pengalaman yang jelas bahwa pertapaan dan pengekangan diri adalah delusi; hal itu tidak mengantarkan seseorang menuju realisasi diri, namun melemahkan tubuh dan pikiran. Karena itu, ia kemudian memutuskan untuk menjalani hidup sederhana yang penuh dengan kegiatan mental intensif.
Akhirnya, sebagai puncak dari sebuah meditasi yang panjang, ia duduk di bawah sebuah pohon ara di Uruvela (yang kemudian disebut sebagai "Bo" atau Pohon Kebijaksanaan) dan di sana ia menerima hikmat. Sang pengembara akhirnya menemukan apa yang dicarinya. Ia tidak tidak hanya mendapatkan jawaban atas permasalahannya, namun juga memiliki pesan agar seluruh dunia mendengarnya.
EMPAT KEBENARAN
Hikmat Gautama mengandung empat kebenaran.
  1. Penderitaan. Hal ini menunjuk pada penderitaan mental dan fisik. Kebenaran ini menyatakan bahwa penderitaan itu selalu ada dan merupakan sifat kehidupan. Semua makhluk hidup adalah subjeknya. Kehidupan berjalan beriringan dengan penderitaan.
  2. Kebenaran yang kedua berkenaan dengan sebab dari penderitaan. Penderitaan disebabkan oleh hasrat dalam hati yang besar, yang berakar pada ketidaktahuan, yang akhirnya tidak dapat terpuaskan.
  3. Kebenaran ketiga menyatakan bahwa penderitaan akan berhenti jika hasrat juga berhenti, serta ketika hasrat egois dan nafsu kehidupan ditinggalkan dan dihancurkan. Saat itu terjadi, kedamaian akan dicapai.
  4. Kebenaran keempat adalah tentang jalan menuju pada penghentian penderitaan. Jalan Rangkap Delapan adalah semacam jalur komprehensif dalam berdisiplin diri untuk menjadi manusia yang semakin baik, yang pada akhirnya akan memusnahkan hasrat manusia dan berujung pada kesempurnaan moral. Gautama yakin bahwa dengan cara inilah, manusia dapat keluar dari lingkaran reinkarnasi. Jalan ini juga dikenal dengan nama Jalan Tengah.
JALAN RANGKAP DELAPAN
Delapan jalan itu adalah sebagai berikut.
  1. Pandangan yang benar. Hal ini melibatkan penerimaan empat kebenaran dan penolakan tegas, baik terhadap posisi filosofis yang tidak benar mengenai hal-hal seperti diri dan takdirnya, maupun sikap moral yang buruk, yang berujung pada keirihatian, kebohongan, gosip, dan semacamnya.
  2. Aspirasi yang benar. Membebaskan pikiran dari hal-hal seperti nafsu, niat buruk, dan kekejaman. Seseorang harus memiliki ketetapan hati yang teguh untuk mencapai tujuan tertinggi.
  3. Tuturan yang benar. Seseorang harus terus terang dan dapat dipercaya dalam berkata-kata, serta tidak bohong dan kasar. Kata-kata harus lembut, nyaman di telinga, masuk ke hati, bermanfaat, tepat waktu, dan sesuai fakta.
  4. Sikap yang benar. Hal ini meliputi amal, tidak membunuh segala makhluk hidup (bahkan memecah telur ayam pun tidak diperbolehkan), tidak mencuri, dan tidak berzinah. Dalam ajaran Buddha, moralitas dan hikmat intelektual tidak terpisahkan, seperti kata mutiara, "Moralitas membentuk dasar kehidupan yang lebih baik, hikmat melengkapinya."
  5. Gaya hidup yang benar. Kehidupan manusia harus terbebas dari kemewahan. Tidak boleh ada makhluk hidup yang disakiti. Setiap orang harus berusaha untuk menguasai satu keahlian dan menggunakannya agar bermanfaat bagi sesamanya.
  6. Usaha yang benar. Pertama, berusaha menghindari munculnya pikiran yang buruk; kedua, usaha untuk mengatasi pikiran buruk; ketiga, usaha untuk mengembangkan kondisi yang berfaedah, seperti pengendalian diri, penyelidikan ajaran, konsentrasi, dan rasa bahagia; terakhir, usaha untuk mengembangkan kondisi yang berfaedah yang telah muncul dan menyempurnakannya. Klimaks dari pencapaian ini adalah kasih universal.
  7. Kesadaran yang benar. Merupakan empat dasar perenungan, [1] perenungan kefanaan dan keseganan tubuh; [2] perenungan perasaan diri dan orang lain; [3] perenungan pikiran; dan [4] perenungan fenomena yang ditujukan untuk menguasai proses mental seseorang.
  8. Konsentrasi yang benar. Hal ini berkenaan dengan menyempurnakan ketajaman pikiran, mengonsentrasikan pikiran pada satu objek, yaitu semua rintangan yang telah diatasi. Hal ini merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan pengikut Buddha. Hal ini akan membuat mereka disempurnakan; gangguan dan pikiran jahat diganti dengan rasa bahagia dan ketenangan hati. Pada akhirnya tercapai hikmat yang sempurna.
Itulah cara yang diajarkan Gautama, kombinasi moralitas, konsentrasi, dan hikmat yang ada dalam proses spiritual yang lama pada akhirnya akan membawa pada ke-Buddha-an. Moralitas tidak boleh diabaikan, hanya dengan pikiran yang murni dan hati yang lembutlah, benih hikmat ilahi dapat bertumbuh.
Buddha dikenal sebagai sistem pembebasan diri yang paling radikal yang pernah ada di dunia. Kehidupan normal tidak akan cukup untuk menuntaskan setiap tahapan yang diperlukan untuk mencapai kesempurnaan. Seluruh proses (Empat Kebenaran dan Jalan Rangkap Delapan) membutuhkan jangka waktu yang luar biasa lama, yang membutuhkan berkali-kali reinkarnasi. Untuk menyelesaikannya dengan lebih cepat, seseorang perlu meninggalkan keluarganya, seperti yang Gautama pernah lakukan.
DEFINISI PENTING
Untuk dapat memahami Jalan Tengah dengan baik, penting untuk mengerti makna dari "karma", "ketidakabadian", dan "nirwana", konsep yang sering muncul dalam ajaran Buddha.
  1. Karma. Menunjuk pada aksi-reaksi dan hukum sebab akibat. Apa yang Anda tuai akan Anda tabur. Tidak ada yang dapat mengubah atau menghentikan konsekuensi dari setiap perbuatan. Hukum sebab akibat adalah rantai yang terus ada sepanjang zaman. Anda yang sekarang dan yang Anda lakukan sekarang adalah hasil dari Anda yang dulu dan Anda lakukan dalam inkarnasi sebelumnya. Dan inkarnasi Anda selanjutnya ditentukan oleh diri Anda yang sekarang. Mustahil untuk membatalkan konsekuensi dari perbuatan jahat dengan melakukan perbuatan baik. Kebaikan akan membawa buahnya, demikian juga dengan kejahatan; keduanya beroperasi secara independen. Saat keberadaan seseorang yang sekarang berreinkarnasi, makhluk baru muncul atas dasar karmanya. Makhluk baru itu tidak identik, namun berhubungan dengan yang baru meninggal, karena tautan karma memelihara individualitas tertentu melalui banyak perubahan yang terjadi.
  2. Hukum sebab akibat berlaku dalam dunia mental, moral, dan fisik. Dengan bantuan hukum itu, beberapa hal seperti cinta pada pandangan pertama dapat dijelaskan; kedua individu memiliki hubungan di kehidupan yang lalu. Tidak ada satu hal pun dalam kehidupan ini yang tidak dapat dijelaskan dengan teori ini. Keyakinan dalam karma, hukum sebab akibat yang tidak dapat diubah, serta kejahatan dan kebaikan melalui reinkarnasi yang terus berlangsung, menghasilkan fatalisme dalam pemikiran pengikut Buddha. Apa yang akan terjadi, akan terjadi dan tak terhindarkan. Penderitaan, kehilangan, kematian, bencana, semuanya adalah bagian dari karma, dan hal itu memberikan nuansa ketidaktanggungjawaban dalam fatalisme. Waktu antara satu kehidupan dan kehidupan lain diyakini lebih lama dari masa kehidupan normal.
  3. Ketidakabadian. Buddha mengajar bahwa semua yang hidup melalui lingkaran kelahiran, pertumbuhan, kebusukan, dan kematian. Kehidupan itu satu dan tidak dapat dibagi-bagi; yang terus berubah dalam jumlah yang tak terhitung dan tak pernah berhenti. Setiap makhluk hidup harus mati dan memberikan tempat kepada makhluk lain. Manusia itu tidak abadi. Keberadaan individu hanyalah sebuah ilusi karena individu tersebut terus berubah dan hanya memiliki keberadaan yang sifatnya fenomenal. Doktrin ini dapat diwakili dengan mengatakan bahwa Gautama menyangkal keberadaan manusia sebagai individu yang terpisah.
  4. Nirwana. Ada banyak definisi yang mungkin akan menggambarkan makna dari apa yang disebut nirwana. Nirwana adalah sebuah penyataan etis, sebuah kondisi di mana tidak ada lagi reinkarnasi, hasrat, dan penderitaan. Kadang istilah ini juga didefinisikan sebagai kebebasan dari kungkungan tubuh, kesadaran akan kedamaian yang paling agung, dan sebuah kebahagiaan yang sempurna dan tanpa hasrat. Nirwana merupakan akhir dari karma.
Tidak ada Tuhan dalam doktrin Buddha. Gautama sendiri mengakuinya. Ia mengajar untuk menunjukkan jalan dan memandu mereka yang berusaha berjalan pada jalur itu, namun mereka berjalan sendirian. Gautama hanyalah seorang guru dan frasa yang biasa digunakan untuk menggantikan, "Saya berlindung dalam Buddha", yang menunjukkan sebuah perbuatan untuk menaati perintahnya, bukan sebuah sikap iman yang sudah ia selamatkan atau dapat menyelamatkan seseorang melalui pengorbanan yang ia lakukan. Jalan Tengah digambarkan oleh Profesor Kraemar sebagai "ajaran etika nonilahi", sebuah sistem pelatihan diri, anthroposentris, dan etika yang menekan yang berada di luar teologi. Buddha yang diajarkan oleh pendirinya bukanlah suatu sistem iman dan penyembahan yang masuk akal. Agama ini tidak mengenal doa, pujian, penebusan, pengampunan, surga, penghakiman, dan neraka. Agama ini tidak mau berspekulasi tentang realitas yang paling pokok atau Sebab Utama yang menjadi asal muasal rangkaian sebab dan akibat yang sangat panjang dengan mengatakan bahwa dunia ini jauh di luar pemahaman manusia. Agama ini tutup mulut terhadap hal-hal yang berkaitan dengan masa depan, memberikan isi positif yang minim pada konsep nirwana.
Dihadapkan dengan masalah penderitaan, agama ini mengajarkan cara mendapat keselamatan dari karma dan siklus kehidupan dengan pemusnahan hasrat (nafsu). Hal itu merupakan suatu proses yang evolusioner untuk dicapai oleh seseorang karena Buddha tidak menerima pandangan bahwa manusia itu pada dasarnya berdosa dan perlunya pribadi lain untuk menyelesaikan ajaran moralnya. Agama ini terutama fokus pada masalah rasa sakit dan derita daripada masalah dosa. Buddha bukanlah agama yang menekankan komunikasi antara manusia dan ilahi. Agama ini lebih merupakan sebuah filosofi moral dan sebuah jalan. 
semestafakta-BUDDHA
1. Siddharta Gautama yang dikenal juga dengan Sakyamuni dan kemudian terkenal dengan nama Buddha adalah pendiri agama Buddha. Hari kelahirannya dirayakan dengan nama “Buddha Poornima” yang dipercaya lahir pada saat poornima yang artinya bulan purnama. Nama Siddharta berarti “orang yang mencapai tujuan dan cita-citanya” dan nama Buddha yang diberikan oleh para muridnya mempunyai arti “orang yang dicerahkan”. Para arkeolog memperdebatkan keberadaannya, tetapi bukti-bukti menyatakan bahwa dia memang ada. Orang-orang mengenal dia sebagai pendiri Buddhisme, tetapi jarang yang tahu tentang kehidupannya. Kehidupannya bisa dibagi menjadi dua bagian, yaitu kehidupan sebelum mencapai pencerahan dan kehidupan setelah mencapai pencerahan.
2. Buddha Gautama dikenal hidup sangat sederhana dan banyak orang yang tidak tahu bahwa dia lahir sebagai pangeran atau putra mahkota dari Marga Shakya di istana Kapilavastu Nepal. Ayahnya, Suddhodana adalah ketua Marga Shakya di India sedangkan ibunya Ratu Maha Maya dikenal sebagai putri Koli. Buddha lahir di Lumbini di bawah pohon mangga di sebuah taman, yang sekarang lokasinya di kaki bukit di Nepal. Meski dia lahir sebagai putra mahkota tetapi menganut agama Buddha. Dia menganggap jalannya lebih penting dibandingkan kekuasaan dan kekayaan. Buddha menikah dengan Yasodhara dan mempunyai putra bernama Rahula. Setelah berkelana untuk pencarian agamanya maka dia menyatakan bahwa kebahagiaan perkawinan bukanlah tujuan terakhir dari kehidupan seseorang.
3. Sebelum Buddha Gautama lahir ada seorang ahli nujum meramalkan bahwa anak Suddhodhana akan menjadi manusia suci yang terkenal atau dia akan menjadi raja yang agung. Ayahnya menginginkan dia jauh dari kesengsaraan dan bahkan tidak mengizinkan dia menganut ajaran agama karena takut dia menjadi orang suci. Ayahnya bahkan membuatkan dia tiga istana dengan seluruh kemewahan hidup agar dia tidak punya keinginan melihat dunia luar. Siddharta tidak diperkenakan kelaur istana dan dia menghabiskan awal-awal hidupnya di istana yang mewah.
semestafakta-buddha born
4. Karena sudah ditakdirkan menjadi manusia suci, Gautama kemudian muak dengan kehidupan materialistik dan ingin meninggalkan istana untuk melihat dunia luar. Pada usia 29 tahun, ketika sedang melihat-lihat sisi luar istana, dia melihat empat hal yang berbeda selama empat perjalanan yang berbeda di luar istana yang tidak dia sadari. Empat hal inilah yang merubah kehidupan mendalam Siddharta. Dalam empat perjalanannya di luar istana dia melihat seorang lelaki tua, jenazah, lelaki yang sedang sakit, dan dia melihat seorang pertapa yang berkelana. Dia merasa sangat gelisah dengan tempat-tempat ini dan dia heran mengapa dia bisa menikmati kehidupan yang mewah sedangkan di sana banyak terdapat penderitaan di dunia. Dia akhirnya menyatakan bahwa realitas itu bukan apa yang dia lihat sampai sekarang dalam hidupnya tetapi realitas itu apa yang dia saksikan dalam kehidupan.
semestafakta-buddha born2
5. Setelah menyaksikan penderitaan di dunia, Gautama tidak dapat menikmati hidupnya di istana tetapi digunakan untuk berkelana di istana. Dia akhirnya sampai pada pemahaman bahwa ketiadaan itu kekal atau permanen dan hal-hal yang bagus dan indah di sekitarnya akan sirna dan mati pada waktunya. Tidak ada yang bisa membuat dia bahagia setelah berkelana di luar istana, bahkan kabar kelahirannya anaknya pun tidak mampu membahagiakannya. Akhirnya dia tinggalkan seluruh kesenangan hidup dan meninggalkan orang-orang yang dicintainya untuk menjadi biarawan yang mengembara untuk mencari pencerahan.
6. Setelah meninggalkan istana, Gautama susah menemukan guru yang dapat mengajarkan tentang kebenaran dunia dan tentang agama yang berbeda-beda. Untuk belajar tentang penderitaan dia mengembara dengan berjubah dan berusaha mempelajarinya dari guru yang paling bijaksana. Tetapi tidak ada guru yang bisa menerangkan bagaimana cara mengakhiri penderitaan dan oleh karena itu akhirnya dia memutuskan untuk mencari jawabannya sendiri. Selama sekitar enam tahun dia menjalani disiplin hidup dengan hanya makan akar-akaran, buah, dan makanan mentah. Dia juga belajar yoga dan praktik meditasi. Dalam waktu singkat Siddharta berhasil menjadi guru seni meditasi Yoga, tetapi tetap tidak bisa memuaskan. Kemudian dia menyatakan bahwa kenikmatan hidup di istana dan atau hidup yang sederhana di hutan adalah jawaban apa yang selama ini dia cari.
7. Dia mengajar dengan cara berkelana ke penjuru dunia sampai meninggal pada usia 80 tahun. Dia meninggal di Kushinagar pada tahun 483 SM. Dia menganjurkan kepada para pengikutnya untuk berusaha keras mencapai pembebasan dan pelepasan dan dia mengatakan bahwa kebahagiaan itu adalah kesadaran kalau dunia itu tidak kekal. Bahkan setelah beberapa tahun setelah wafatnya Buddha, ungkapan mendalam ini masih diikuti oleh pengikutnya di seluruh dunia.
8. Selama berkelana mengajarkan ajarannya, Buddha mengunjungi anaknya, ayah, istri tercintanya, dan ibu yang membesarkannya. Keluarganya segera bergabung dengan Sangha, yaitu komunitas atau jamaah agama Buddha. Sepupunya, Ananda, juga menjadi muridnya dan bergabung dengan jamaah tersebut dan menjadi biarawan. Anaknya, Rahula, adalah biarawan termuda di jamaah dan menjadi biarawan ketika dia masih berumur tujuh tahun.
9. Setelah mencapai pencerahan Buddha mulai menyampaikan ide dan ajarannya. Buddha dan muridnya selama 45 tahun selanjutnya berkelana ke banyak tempat di penjuru dunia untuk menyebarkan ajarannya. Buddha mengajarkan bahwa untuk mencapai pencerahan orang harus mempunyai rasa peduli, menjauhi sifat pemarah, dan tidak membenci orang. Khutbah pertama Buddha adalah di Sarnath di Uttar Pradesh.
10. Siddhartha menyatakan bahwa asketisme ekstrim bukanlah jalan yang tepat untuk mencapai pencerahan. Dia akhirnya menemukan “Jalan Tengah”, yaitu jalan pengendalian yang tidak mendukung keburukan diri dan kemurahan diri yang ekstrim. Dia duduk di bawah pohon “pipal” yang sekarang dikenal sebagai pohon Bodhi untuk bermeditasi dan berjanji tidak akan bangun dari tempat itu sanpai dia menemukan kebenaran mutlak yang dia cari. Setelah bermeditasi selama 49 hari akhirnya dia mencapai “Pencerahan”.
11. Tempat Buddha mendapatkan pencerahan di bawah pohon Bodhi masih terawat sampai sekarang.
semestafakta-boddhi treesemestafakta-boddhi tree3
12. Para pengikut Buddha memandang Buddha sebagai seorang guru dan bukan tuhan atau avatar. 



Comments