PERJALANAN NAMO SANGHYANG ADIBUDHA/SIDHARTA GAOTAMA
Sebelah selatan dari Nepal di kaki gunung Himalaya, terdapat sebuah tempat suci bernama Lumbini, yaitu tempat di mana Sang Buddha lahir. Banyak sekali umat Buddha dari seluruh dunia berziarah kemari untuk memberikan hormat kepada seorang bijak yang kisah hidupnya tidak lekang pudar oleh waktu. Terdapat banyak sekali cerita tentang Sang Buddha, di setiap tradisi, setiap budaya, setiap periode waktu, memiliki kisahnya sendiri tentang Sang Buddha. Kurang lebih 500 tahun setelah meninggalnya Sang Buddha, baru mulai ada materi tertulis mengenai biography Sang Budha. Jadi, selama kurang lebih 500 tahun ajaran tentang Sang Buddha diajarkan secara oral atau lisan.
"Buddha" bukanlah sebuah nama, melainkan sebuah
gelar yang berarti "Yang Bijaksana" atau "Yang Bangkit". Gelar tersebut
diberikan kepada Sidharta Gautama yang lahir pada sekitar 563 SM di
dekat Kapilavatsu, perbatasan Nepal, 130 mil utara Banaras. Ia dianggap
sebagai reinkarnasi terakhir dari serangkaian 550 reinkarnasi (ada pula
yang mengatakan ribuan) di mana ia menderita, mengorbankan diri,
memenuhi segala kesempurnaan, dan secara bertahap menjadi semakin dekat
dengan tujuannya -- mendapatkan kebijaksanaan bagi dirinya sendiri dan
semua manusia. Keluarga bangsawannya termasuk dalam klan Sakya, sehingga
terkadang Gautama dipanggil dengan sebutan Sakyamuni, orang suci dari
Sakya. Ia juga disebut dengan nama Tahtagata, yang mungkin berarti "Yang
telah datang" (seperti pendahulunya juga telah datang), baik oleh para
pengikutnya atau dirinya sendiri.
Tidak ada biografi Gautama yang ditulis sampai seratus tahun setelah kematiannya. Namun begitu, sepertinya ia hidup dalam kemewahan pada masa-masa awal kehidupannya.
Saat remaja, ia menikahi sepupunya, Yasodhara. Setelah menikah, ia pindah ke sebuah istana yang dibangun ayahnya untuknya dan terus menikmati kenyamanan hidup kaum elit. Suatu hari, meski dicegah untuk tidak melihat sisi gelap dari kehidupan, saat ia berjalan menuju taman istana, ia melihat seorang tua, orang sakit, orang mati, dan biksu yang sedang meminta-minta. Sejak itu, ia terus memikirkan kerasnya dunia. Saking terusiknya ia oleh masalah penderitaan manusia, ia merasa sangat perlu untuk keluar dari kehidupannya yang nyaman, yang mungkin dapat mencegahnya mencari jawaban untuk pertanyaan-pertanyaan yang menyiksa pikirannya. Meski disodori berbagai kenikmatan agar ia mengurungkan niatnya, pada suatu malam Gautama menyelinap pergi setelah melihat istri dan anak laki-lakinya sedang tidur (anak laki-laki yang secara simbolis ia beri nama Rahula, yang berarti "belenggu"). Ia meninggalkan rumah, kekayaan, dan masa depan yang cerah untuk mencari jawaban teka-teki kehidupan.
Ia berusia 29 tahun saat mengembara, namun tidak sampai enam tahun, perjalanannya berbuah. Pertama-tama ia menaati ajaran dua pertapa Brahmana terkenal, Alara dan Uddaka. Namun, Gautama tidak dapat menemukan kepuasan karena ajaran tersebut tidak mengatakan bagaimana caranya mengakhiri reinkarnasi.
Selanjutnya, ia bersama kelima temannya menjalani kehidupan pertapaan yang ekstrim di sebuah hutan. Kabarnya, ia hanya makan sedikit nasi sehari sampai tubuhnya yang terawat menjadi kurus kering. Hal tersebut memberinya pengalaman yang jelas bahwa pertapaan dan pengekangan diri adalah delusi; hal itu tidak mengantarkan seseorang menuju realisasi diri, namun melemahkan tubuh dan pikiran. Karena itu, ia kemudian memutuskan untuk menjalani hidup sederhana yang penuh dengan kegiatan mental intensif.
Akhirnya, sebagai puncak dari sebuah meditasi yang panjang, ia duduk di bawah sebuah pohon ara di Uruvela (yang kemudian disebut sebagai "Bo" atau Pohon Kebijaksanaan) dan di sana ia menerima hikmat. Sang pengembara akhirnya menemukan apa yang dicarinya. Ia tidak tidak hanya mendapatkan jawaban atas permasalahannya, namun juga memiliki pesan agar seluruh dunia mendengarnya.
EMPAT KEBENARAN
Hikmat Gautama mengandung empat kebenaran.
Delapan jalan itu adalah sebagai berikut.
Buddha dikenal sebagai sistem pembebasan diri yang paling radikal yang pernah ada di dunia. Kehidupan normal tidak akan cukup untuk menuntaskan setiap tahapan yang diperlukan untuk mencapai kesempurnaan. Seluruh proses (Empat Kebenaran dan Jalan Rangkap Delapan) membutuhkan jangka waktu yang luar biasa lama, yang membutuhkan berkali-kali reinkarnasi. Untuk menyelesaikannya dengan lebih cepat, seseorang perlu meninggalkan keluarganya, seperti yang Gautama pernah lakukan.
DEFINISI PENTING
Untuk dapat memahami Jalan Tengah dengan baik, penting untuk mengerti makna dari "karma", "ketidakabadian", dan "nirwana", konsep yang sering muncul dalam ajaran Buddha.
Dihadapkan dengan masalah penderitaan, agama ini mengajarkan cara mendapat keselamatan dari karma dan siklus kehidupan dengan pemusnahan hasrat (nafsu). Hal itu merupakan suatu proses yang evolusioner untuk dicapai oleh seseorang karena Buddha tidak menerima pandangan bahwa manusia itu pada dasarnya berdosa dan perlunya pribadi lain untuk menyelesaikan ajaran moralnya. Agama ini terutama fokus pada masalah rasa sakit dan derita daripada masalah dosa. Buddha bukanlah agama yang menekankan komunikasi antara manusia dan ilahi. Agama ini lebih merupakan sebuah filosofi moral dan sebuah jalan.

1. Siddharta Gautama yang dikenal juga dengan Sakyamuni dan kemudian terkenal dengan nama Buddha adalah pendiri agama Buddha. Hari kelahirannya dirayakan dengan nama “Buddha Poornima” yang dipercaya lahir pada saat poornima yang artinya bulan purnama. Nama Siddharta berarti “orang yang mencapai tujuan dan cita-citanya” dan nama Buddha yang diberikan oleh para muridnya mempunyai arti “orang yang dicerahkan”. Para arkeolog memperdebatkan keberadaannya, tetapi bukti-bukti menyatakan bahwa dia memang ada. Orang-orang mengenal dia sebagai pendiri Buddhisme, tetapi jarang yang tahu tentang kehidupannya. Kehidupannya bisa dibagi menjadi dua bagian, yaitu kehidupan sebelum mencapai pencerahan dan kehidupan setelah mencapai pencerahan.
2. Buddha Gautama dikenal hidup sangat sederhana dan banyak orang yang tidak tahu bahwa dia lahir sebagai pangeran atau putra mahkota dari Marga Shakya di istana Kapilavastu Nepal. Ayahnya, Suddhodana adalah ketua Marga Shakya di India sedangkan ibunya Ratu Maha Maya dikenal sebagai putri Koli. Buddha lahir di Lumbini di bawah pohon mangga di sebuah taman, yang sekarang lokasinya di kaki bukit di Nepal. Meski dia lahir sebagai putra mahkota tetapi menganut agama Buddha. Dia menganggap jalannya lebih penting dibandingkan kekuasaan dan kekayaan. Buddha menikah dengan Yasodhara dan mempunyai putra bernama Rahula. Setelah berkelana untuk pencarian agamanya maka dia menyatakan bahwa kebahagiaan perkawinan bukanlah tujuan terakhir dari kehidupan seseorang.
3. Sebelum Buddha Gautama lahir ada seorang ahli nujum meramalkan bahwa anak Suddhodhana akan menjadi manusia suci yang terkenal atau dia akan menjadi raja yang agung. Ayahnya menginginkan dia jauh dari kesengsaraan dan bahkan tidak mengizinkan dia menganut ajaran agama karena takut dia menjadi orang suci. Ayahnya bahkan membuatkan dia tiga istana dengan seluruh kemewahan hidup agar dia tidak punya keinginan melihat dunia luar. Siddharta tidak diperkenakan kelaur istana dan dia menghabiskan awal-awal hidupnya di istana yang mewah.

4. Karena sudah ditakdirkan menjadi manusia suci, Gautama kemudian muak dengan kehidupan materialistik dan ingin meninggalkan istana untuk melihat dunia luar. Pada usia 29 tahun, ketika sedang melihat-lihat sisi luar istana, dia melihat empat hal yang berbeda selama empat perjalanan yang berbeda di luar istana yang tidak dia sadari. Empat hal inilah yang merubah kehidupan mendalam Siddharta. Dalam empat perjalanannya di luar istana dia melihat seorang lelaki tua, jenazah, lelaki yang sedang sakit, dan dia melihat seorang pertapa yang berkelana. Dia merasa sangat gelisah dengan tempat-tempat ini dan dia heran mengapa dia bisa menikmati kehidupan yang mewah sedangkan di sana banyak terdapat penderitaan di dunia. Dia akhirnya menyatakan bahwa realitas itu bukan apa yang dia lihat sampai sekarang dalam hidupnya tetapi realitas itu apa yang dia saksikan dalam kehidupan.

5. Setelah menyaksikan penderitaan di dunia, Gautama tidak dapat menikmati hidupnya di istana tetapi digunakan untuk berkelana di istana. Dia akhirnya sampai pada pemahaman bahwa ketiadaan itu kekal atau permanen dan hal-hal yang bagus dan indah di sekitarnya akan sirna dan mati pada waktunya. Tidak ada yang bisa membuat dia bahagia setelah berkelana di luar istana, bahkan kabar kelahirannya anaknya pun tidak mampu membahagiakannya. Akhirnya dia tinggalkan seluruh kesenangan hidup dan meninggalkan orang-orang yang dicintainya untuk menjadi biarawan yang mengembara untuk mencari pencerahan.
6. Setelah meninggalkan istana, Gautama susah menemukan guru yang dapat mengajarkan tentang kebenaran dunia dan tentang agama yang berbeda-beda. Untuk belajar tentang penderitaan dia mengembara dengan berjubah dan berusaha mempelajarinya dari guru yang paling bijaksana. Tetapi tidak ada guru yang bisa menerangkan bagaimana cara mengakhiri penderitaan dan oleh karena itu akhirnya dia memutuskan untuk mencari jawabannya sendiri. Selama sekitar enam tahun dia menjalani disiplin hidup dengan hanya makan akar-akaran, buah, dan makanan mentah. Dia juga belajar yoga dan praktik meditasi. Dalam waktu singkat Siddharta berhasil menjadi guru seni meditasi Yoga, tetapi tetap tidak bisa memuaskan. Kemudian dia menyatakan bahwa kenikmatan hidup di istana dan atau hidup yang sederhana di hutan adalah jawaban apa yang selama ini dia cari.
7. Dia mengajar dengan cara berkelana ke penjuru dunia sampai meninggal pada usia 80 tahun. Dia meninggal di Kushinagar pada tahun 483 SM. Dia menganjurkan kepada para pengikutnya untuk berusaha keras mencapai pembebasan dan pelepasan dan dia mengatakan bahwa kebahagiaan itu adalah kesadaran kalau dunia itu tidak kekal. Bahkan setelah beberapa tahun setelah wafatnya Buddha, ungkapan mendalam ini masih diikuti oleh pengikutnya di seluruh dunia.
8. Selama berkelana mengajarkan ajarannya, Buddha mengunjungi anaknya, ayah, istri tercintanya, dan ibu yang membesarkannya. Keluarganya segera bergabung dengan Sangha, yaitu komunitas atau jamaah agama Buddha. Sepupunya, Ananda, juga menjadi muridnya dan bergabung dengan jamaah tersebut dan menjadi biarawan. Anaknya, Rahula, adalah biarawan termuda di jamaah dan menjadi biarawan ketika dia masih berumur tujuh tahun.
9. Setelah mencapai pencerahan Buddha mulai menyampaikan ide dan ajarannya. Buddha dan muridnya selama 45 tahun selanjutnya berkelana ke banyak tempat di penjuru dunia untuk menyebarkan ajarannya. Buddha mengajarkan bahwa untuk mencapai pencerahan orang harus mempunyai rasa peduli, menjauhi sifat pemarah, dan tidak membenci orang. Khutbah pertama Buddha adalah di Sarnath di Uttar Pradesh.
10. Siddhartha menyatakan bahwa asketisme ekstrim bukanlah jalan yang tepat untuk mencapai pencerahan. Dia akhirnya menemukan “Jalan Tengah”, yaitu jalan pengendalian yang tidak mendukung keburukan diri dan kemurahan diri yang ekstrim. Dia duduk di bawah pohon “pipal” yang sekarang dikenal sebagai pohon Bodhi untuk bermeditasi dan berjanji tidak akan bangun dari tempat itu sanpai dia menemukan kebenaran mutlak yang dia cari. Setelah bermeditasi selama 49 hari akhirnya dia mencapai “Pencerahan”.
11. Tempat Buddha mendapatkan pencerahan di bawah pohon Bodhi masih terawat sampai sekarang.


12. Para pengikut Buddha memandang Buddha sebagai seorang guru dan bukan tuhan atau avatar.
Sebelah selatan dari Nepal di kaki gunung Himalaya, terdapat sebuah tempat suci bernama Lumbini, yaitu tempat di mana Sang Buddha lahir. Banyak sekali umat Buddha dari seluruh dunia berziarah kemari untuk memberikan hormat kepada seorang bijak yang kisah hidupnya tidak lekang pudar oleh waktu. Terdapat banyak sekali cerita tentang Sang Buddha, di setiap tradisi, setiap budaya, setiap periode waktu, memiliki kisahnya sendiri tentang Sang Buddha. Kurang lebih 500 tahun setelah meninggalnya Sang Buddha, baru mulai ada materi tertulis mengenai biography Sang Budha. Jadi, selama kurang lebih 500 tahun ajaran tentang Sang Buddha diajarkan secara oral atau lisan.
Tentunya ada seseorang yang
berkorespondensi dengan Sang Buddha sehingga orang tersebut dapat
menuliskan kisah tentang Sang Buddha, tetapi kita tidak tau siapa kah
orang tersebut, apa kah apa yang dia paparkan tersebut benar atau
jangan-jangan hanya dongeng belaka, berapa banyak dari kisah Sang Buddha
yang benar-benar realita. Tetapi di luar dari semua itu, kisah
perjalanan hidup Sang Buddha merupakan salah satu cara yang indah untuk
menyampaikan ajaran Sang Buddha.
“Dia yang melihat ajaranku melihatku, dan dia yang melihatku melihat ajaranku”, demikian kata Sang Buddha.
Lahir lebih kurang 500 tahun sebelum
kelahiran Yesus. Sang Buddha lahir dan diberi nama Sidharta Gautama,
ayahnya bernama Raja Sudhodana. Selama kurang lebih 3 dekade Sang Buddha
dibesarkan dengan sangat hati-hati oleh ayahnya, tinggal di istana
dengan segala kemewahan layaknya seorang anak Raja, pergi ke mana-mana
terlindung dari panas dan hujan. Ayahnya menginginkan Sidharta menjadi
seorang Raja, menaklukkan dunia dan menjadi Kaisar India yang pada
waktu itu terpecah menjadi 17 kerajaan.
Istri Raja Sudhodana bernama Ratu Maya.
Sebelum melahirkan Sang Buddha, Ratu Maya mendapatkan sebuah mimpi yang
aneh, Ratu bermimpi ada empat orang Dewa Agung membawa Ratu ke gunung
Himalaya, meletakkannya di bawah pohon Sala, kemudian Dewa Agung
memandikan Ratu di danau Anotatta, selanjutnya Ratu di pimpin masuk ke
sebuah istana emas yang indah sekali… dan kemudian Ratu dibaringkan di
atas sebuah dipan, di tempat itu lah seekor gajah putih memegang
sekuntum bunga teratai di belalainya masuk ke kamar, mengelilingi sang
Ratu sebanyak tiga kali, kemudian masuk ke perut Sang Ratu melalui perut
sebelah kanan.
Ratu Maya menceritakan mimpinya tersebut
kepada Raja, kemudian Raja memanggil para Brahmana untuk menanyakan arti
mimpi tersebut. Para Brahmana menjelaskan kepada Raja bahwa Ratu akan
mengandung seorang bayi laki-laki yang kelak akan menjadi Cakkavati
(Raja dari semua Raja) atau akan menjadi orang Suci. Kemudian Ratu Maya
mengandung, 10 bulan kemudian dalam perjalanan menuju Devadaha, Ratu
beristirahat di taman Lumbini, dan melahirkan Sidharta Gautama di bawah
pohon Sala, waktu itu tepat bulan purnama di bulan Waisak. Tujuh hari
kemudian, Ratu Maya meninggal, dan Raja kemudian menikahi Pajapati yang
juga adik dari Ratu Maya untuk merawat Sidharta.
Raja Sudhodana sangat menginginkan
SIdharta Gautama menjadi seorang Raja daripada menjadi seorang Suci.
Para Brahmana mengingatkan Raja Sudhodana bahwa Sidharta Gautama tidak
boleh melihat 4 hal semasa hidupnya, yaitu orang tua, orang sakit, orang
mati, dan pertapa. Karena apabila Sidharta Gautama melihat ke empat hal
tersebut, dia akan menjalani hidup untuk menjadi seorang pertapa. Oleh
karena itu, Raja menciptakan lingkungan artificial di sekeliling
Sidharta Gautama. Ayahnya tidak menginginkan dia melihat bahwa ada yang
tidak beres dengan kehidupan ini, supaya kelak Sidharta tumbuh sebagai
seorang Maha Raja dan bukan sebagai seorang guru spiritual.
Hidup tanpa pernah melihat dan
merasakan segala macam penderitaan, Sidharta menikmati kehidupan penuh
dengan kesenangan dan kemewahan. Setiap keinginannya terpenuhi. “Saya
mengenakan pakaian yang paling mahal, saya makan makanan yang paling
lezat dan bergizi, saya di kelilingi oleh wanita-wanita cantik” Demikian
kata Sang Buddha. Pada suatu musim hujan, Sidharta tinggal di istana
dan sedang di hibur oleh para musisi dan wanita penari, tidak pernah
terpikirkan olehnya untuk meninggalkan istana, kehidupan begitu
sempurna. Ayahnya menikahkan Sidharta dengan Yasodhara yang kelak
melahirkan anaknya yang diberi nama Rahula. Selama 29 tahun Sidharta
menikmati kehidupan kerajaan penuh kemewahan hingga pada akhirnya
gelembung kenikmatan dan kesenangan tersebut meletus.
Raja melakukan apa pun supaya Sidharta
tidak melihat penderitaan hidup. Tetapi suatu hari Sidharta jalan-jalan
keluar dari istana bersama beberapa pengawalnya. Di dalam perjalanannya
yang pertama kali, dia melihat ada orang tua yang bungkuk di pinggir
jalan, rambutnya putih, badannya kurus, kulitnya kasar dan keriputan.
Kemudian dia bertanya kepada pengawalnya “siapa ini? Kenapa dia terlihat
berbeda dan lemah?”. Pelayannya menjawab, dia adalah orang tua,
manusia tidak akan selamanya muda dan kuat, Tuanku.
Kemudian pada perjalanan berikutnya
Sidharta melihat orang sakit terbaring di pinggir jalan, dan dia tidak
mengerti apa yang sedang dia lihat. Kemudian dia bertanya kepada
pengawalnya dan pengawalnya menjawab bahwa itu adalah orang sakit, dan
itu terjadi pada kita semua, semua orang akan sakit, dan jangan berpikir
bahwa anda adalah seorang pangeran maka anda tidak bisa sakit, ayah
anda bisa sakit, ibu anda bisa sakit, semua orang akan sakit.
Sepulang dari perjalanannya yang ke dua,
sesuatu berkecamuk di dalam diri Sidharta setelah dia melihat horor demi
horor. Pada perjalanannya yang ke tiga, Sidharta melihat mayat dan
mulai mengenal bahwa segala sesuatu dalam hidup ini tidak permanen dan
kematian adalah nyata. 29 tahun tertutup dari segala penderitaan manusia
membuat Sidharta tergoncang hebat, dan dia berpikir… “ini semua akan
terjadi juga pada diriku. Saya akan menjadi tua, saya juga akan menjadi
sakit, dan saya juga akan mati. Bagaimana caranya saya menghadapi semua
ini?” Itu adalah pertanyaan yang universal dari setiap manusia.
Kemudian pada perjalanannya yang ke
empat, dia melihat seorang pertapa, seorang spiritual seeker. Orang yang
hidup dengan cara yang berbeda dari orang pada umumnya, untuk
melepaskan diri dari kehidupan yang tidak permanen dan tidak lepas dari
penderitaan.
Usia 29 tahun, menemukan dirinya sedang
berada dalam suatu masalah besar, Sidharta memutuskan untuk memahami
sifat alami dari penderitaan, yang pada akhirnya membawa Sidharta
meninggalkan Istana dan meninggalkan segala hal-hal keduniawian. Pada
saat itu, istrinya Yasodhara melahirkan seorang bayi laki-laki, dan
Sidharta memberi nama Rahula yang artinya adalah belenggu dan perubahan.
Karena bagi Sidharta, bayi lelakinya akan membuat dirinya terpenjara.
Pada suatu malam di musim panas, Sidharta
mengunjungi ruang tidur istrinya dan mendapatkan bahwa istrinya sedang
tidur sambil merangkul bayinya Rahula. “Apabila saya mengangkat tangan
istriku, menggendong anakku, pasti akan memberatkan langkah ku untuk
meninggalkan mereka” pikir Sang Buddha. Maka, dia membalikkan badan dan
memanjat turun dari Istana, dan pergi meninggalkan Istana bersama kuda
kesayangannya yang bernama Kanthaka.
Pada saat Sidharta meninggalkan Istana,
Mara – dewa nafsu menghampiri Sidharta, mengatakan kepada Sidharta “Kamu
ditakdirkan untuk memerintah sebuah kerajaan yang BESAR, seluruh India…
Kembali lah ke Istana dan segala kekuasaan di dunia ini akan menjadi
milikmu..!” Sidharta menolak, di dalam kegundahan hatinya saat
meninggalkan orang tuanya, istrinya, dan anaknya yang baru saja lahir,
Sidharta terus melaju bersama Kanthaka kudanya.
Tidak ada kebijaksanaan yang di dapatkan tanpa pengorbanan.
Untuk pertama kalinya Sidharta menjalani
hidup sendirian, duduk di pinggir sungai Gangga, “Meskipun ayah dan ibu
ku bersedih dan bercucuran air mata, saya menutup mata dan telinga,
memakai jubah saya, berangkat dari memiliki rumah menjadi gelandangan
tanpa rumah, saya telah di lukai dengan dalam oleh kenikmatan duniawi,
dan sekarang saya keluar untuk mencari kedamaian hidup”.
Suatu ketika sebagai seorang Pangeran
yang di puja dan memiliki segalanya, sekarang menjadi seorang pengemis,
hidup mengandalkan sumbangan dari orang asing yang tidak di kenal, tidur
tanpa alas di atas tanah dan di tengah hutan belantara, tinggal bersama
binatang buas, dan tempat di mana setan-setan dan roh-roh halus
bergentayangan.
Pada saat itu, Sidharta adalah seorang
“pencari”, dia belum memiliki doktrin di dalam dirinya, tidak memiliki
pemahaman apa-apa, dan tidak memiliki solusi apa-apa, tetapi dia
mengenali pokok permasalahannya, di dalam hidup, manusia akan menjadi
tua, sakit, dan mati.
Selama berabad-abad bahkan sebelum zaman
Sang Buddha sudah terdapat berbagai macam agama dengan ritual
keagamaannya. Pada saat Sidharta memutuskan untuk meninggalkan
keduniawian, bergabung bersama ribuan petapa lainnya, melepaskan segala
apa yang di miliki, melakukan praktik hidup yang keras dan sederhana
serta bermeditasi dengan tujuan supaya terlepas dari siklus hidup, mati,
dan terlahirkan kembali, atau yang kita kenal dengan istilah
reinkarnasi.
Penderitaan tidak berasal dari kelahiran,
dan tidak berakhir pada saat kematian, penderitaan tidak ada akhirnya,
kecuali seseorang menemukan jalan keluar dari siklus tersebut yaitu
menjadi tercerahkan, yaitu menjadi seorang Buddha. Pada zaman tersebut
di India, di yakini bahwa kematian bukan lah akhir dari segalanya,
tetapi kematian membawa kepada penderitaan yang lebih menyiksa.
Di kisahkan bahwa Sidharta pernah hidup
di berbagai alam sebelum hidup di alam manusia. Sidharta pernah hidup
sebagai binatang, pernah menjadi manusia, baik pria mau pun wanita,
pernah juga menjadi Dewa. Menjalani kehidupan dalam berbagai bentuk.
Kemudian secara perlahan-lahan dengan latihan yang semakin dalam, dengan
kebijaksanaan, sehingga akhirnya Sidharta menjadi tercerahkan dan
menjadi Sang Buddha.
Di dalam perjalanannya, Sidharta bertemu
dengan seorang guru spiritual dan beliau mengatakan kepada Sidharta
“kebenaran tidak akan datang dari latihan dan ritual keagamaan. Tetapi
kita harus hidup di dalam ajaran tersebut, kamu boleh ikut denganku
kalau mau”.
Guru spiritual pada zaman itu sudah
mengajarkan yoga dan meditasi, mengajarkan bagaimana pikiran dapat di
jinakkan, dan pada zaman itu terdapat banyak sekali sekolah yoga dan
meditasi. Yoga bukan hanya badan, tetapi Yoga memberikan benefit
terhadap badan kita dengan berbagai cara, dan tujuan utama dari yoga
adalah untuk mencapai keadaan meditatif yang mendalam, yang mana tidak
bisa didapatkan dengan mudah dan cepat, tetapi melalui proses latihan
yang disiplin.
Meskipun Yoga kelihatannya fokus pada
kontrol terhadap badan, tetapi sebenarnya Yoga adalah disiplin spiritual
kuno yang tujuan utamanya adalah untuk menenangkan pikiran. Namun,
praktik meditasi yoga tidak mensolusikan permasalahan bagi Sidharta
yaitu mengakhiri penderitaan, dan praktik meditasi hanya memberikan
temporary solution, memberikan ketenangan yang bersifat sementara.
Sidharta tidak puas dan kemudian Sidharta pergi meninggalkan gurunya
yang pertama, kemudian ketemu dengan guru yang ke dua, hasilnya tetap
sama. Sehingga Sidharta meninggalkan juga guru tersebut.
Sidharta Gautama melanjutkan
perjalanannya sendiri, mencari jawaban atas pertanyaannya, kenapa
manusia menderita? Apakah ada jalan keluar? Sidharta mencoba, mencoba,
dan mencoba.. mencari dan mencari… pernah hidup di dalam kemewahan yang
ekstrim, dan sekarang dia hidup di dalam “pembinasaan” yang ekstrim. Di
antara para pertapa yang meninggalkan keduniawian, terdapat sebuah
praktik spiritual yang dengan ketat melakukan hukuman terhadap badan. Di
yakini bahwa menghukum badan merupakan cara untuk mendapatkan
kebijaksanaan dan ketenangan.
Di dalam perjalanannya, Sidharta kemudian
bertemu dengan 5 orang teman yang menjalankan praktik spiritual
tersebut, dan dia ikut di dalam praktik tersebut. Memperlakukan diri
dengan disiplin yang sangat tinggi dan keras, melakukan penyiksaan
terhadap badan, menggantungkan diri di pohon dan bermeditasi dengan
kepala menghadap ke bawah, tidak makan selama berhari-hari. Badan di
yakini merupakan sumber penderitaan, misalnya usia tua, membuat badan
menjadi lemah dan rusak, penyakit menyebabkan sakit dan penderitaan pada
badan, dan kematian merupakan pelepasan jiwa dari badan atau disfungsi
dari badan, sehingga konsepnya adalah bahwa apabila seseorang sanggup
untuk keras terhadap badannya sendiri dengan intensitas yang cukup, maka
orang tersebut akan lepas dari penderitaan yang bisa dibawakan oleh
keterbatasan badan, orang tersebut dapat melampaui keterbatasan badan,
teman-teman Sidharta pada saat itu menjalankan praktik spiritual
tersebut, dengan menurunkan kebutuhan hidup hingga ke level paling
rendah, makan dan minum secukupnya asal cukup untuk bertahan hidup,
tidak ada proteksi terhadap badan dari panas dan dingin, duduk di tengah
cuaca yang ekstrim dingin dan hujan, bermeditasi berjam-jam setiap
hari. Dan praktik seperti ini masih ada di India pada zaman kita
sekarang ini. Diyakini bahwa dengan menundukkan keinginan daging, maka
bisa di dapatkan kekuatan spiritual.
Lelah, Sidharta menjalankan praktik
spiritual seperti itu dan menghukum dirinya selama 6 tahun, Dia menyiksa
dirinya dan berusaha menghancurkan apa saja yang dia lihat sebagai hal
yang buruk di dalam dirinya, setiap hal-hal duniawi, setiap pikiran
kemarahan, setiap nafsu, setiap keinginan, apabila seseorang
sanggup menghapus semua itu dengan kekuatan keinginan, maka orang
tersebut akan mengalami suatu proses transformasi yang membawa dirinya
melampaui manusia biasa, lepas dari penderitaan. Sidharta mencoba semua
itu dan pada akhirnya menjadi seorang pertapa yang paling ekstrim di
bandingkan dengan ke 5 temannya yang lain, makan hanya 1 butir nasi per
hari, minum air kencingnya sendiri, berdiri bermeditasi dengan 1 kaki
selama berjam-jam di tengah cuaca yang ekstrim, tidur di atas tanah
tanpa alas, tetapi semuanya itu dia lakukan dengan sepenuh hati.
“Badan saya menjadi kurus kering,
tulang-tulang saya menjadi sangat rapuh, menonjol keluar di lapisi hanya
oleh kulit yang kering dan tipis, rona mata saya gelap seperti sumur,
saya gemetaran dan menggigil oleh hembusan angin dingin” Kata Sidharta.
Tetapi dia tetap melanjutkannya, mendorong badannya sampai pada limit
paling ekstrim yang bisa di tahan, sampai pada akhirnya dia menyadari
bahwa dia tidak bisa mendapatkan apa yang dia mau dari praktik seperti
itu.
Menyiksa badan, badan menjadi sakit dan
lemah, seluruh perhatian menjadi tertuju kepada badan, tidak ada yang
lain. Sidharta menyerah atas latihan yang keras tersebut dan dia
menemukan bahwa itu bukan jalan yang benar. Dia menemukan bahwa dirinya
hampir mati, dan kemudian terbersit sebuah ingatan. Dia ingat suatu
moment saat masih remaja, duduk di samping sungai sambil memandangi air
sungai yang jernih dengan suara air gemericik, bersama dengan ayahnya
Raja Sudhodana, ketika itu dunia terasa begitu sempurna baginya.
Beberapa tahun sebelumnya ketika Sidharta
masih kecil, ayahnya Raja Sudhodana membawanya ke suatu festival musim
semi untuk menonton tari-tarian. Ketika dia sedang menonton festival
tarian musim semi, dia melihat ke bawahnya ada rerumputan dan ada sebuah
ranting. Dia menginjak ranting tersebut dan kemudian tanpa sengaja ikut
terinjak mati seekor serangga di bawahnya, pada saat itu dia merasa
sangat sedih, dan dia melihat bahwa bagaimana semua yang ada di dalam
kehidupan ini saling terkait satu sama lain.
Inti dari Buddhisme adalah kasih sayang,
dengan kasih sayang yang mendalam terhadap setiap hal yang kita temui,
baik itu orang lain, binatang, tumbuhan, atau planet ini secara
keseluruhan, seluruh makhluk hidup di bumi ini, pepohonan dan sungai,
semuanya terhubung satu sama lain.
Setelah berhenti dari praktik spiritual
yang ekstrim, ketika sedang duduk pada hari itu, suatu hari yang indah,
dengan cuaca yang cerah, pikiran Sidharta melayang-layang, kemudian
dengan sedikit memaksa, dia duduk dalam posisi meditasi yoga dengan kaki
bersila. Alam memberikan tempat dan perlindungan kepada Sidharta,
seiring dengan berlalunya waktu, matahari berpindah posisi, bayangan
pepohonan dan rerumputan bergeser, tetapi di kisahkan bahwa bayangan
dari pohon Bodhi di mana Sang Buddha duduk berteduh, tidak berpindah
posisi dan terus menaungi Sidharta. Sidharta merasakan sukacita, dan
kemudian dia berkata “Saya tidak bisa terus menerus merasakan suka cita
ini kalau saya tidak makan, maka sebaiknya saya makan”. Kemudian seorang
gadis desa lewat, namanya adalah Sujata, dia memberikan semangkuk bubur
beras kepada Sidharta “Ini, makan lah”, kata Sujata. Kemurah-hatian
Sujata ibarat cahaya obor yang memberikan rahmat (pengampunan dengan
penuh kasih sayang) kepada Sidharta.
Kemudian Sidharta mengingat semakin jauh
dan jauh dan dia ingat akan istrinya, anaknya, dan dari semua emosi
perasaan ini, dia merasakan kehilangan, rindu. Setelah Sidharta selesai
makan bubur beras tersebut, dia merasakan sukacita, hati yang penuh
syukur, dia merasakan “cukup” pada saat itu. Dan kemudian
Sidharta melekat kepada rasa cukup tersebut. Kemudian muncul
kembali pertanyaan awalnya, hidup dan penderitaan, hidup dan perubahan,
masih ada masalah, masih ada penderitaan, masalah ini belum selesai.
Lima orang pertapa temannya melihat
Sidharta makan dan minum, dan mereka meninggalkan Sidharta dengan
perasaan jijik. “Dia suka dengan kemewahan, dia serakah” dan mereka
pergi meninggalkan Sidharta. Tetapi, orang yang kelak akan menjadi
Buddha ini sadar bahwa penyiksaan diri yang ekstrim bukanlah jalan yang
tepat. Kita dapat hidup sebagai makhluk hidup yang normal, kita
bisa makan dan minum, dan bahkan kita memang perlu makan dan minum
supaya menjadi makhluk hidup yang normal, supaya dapat mendapatkan
kesadaran atas apa yang kita cari.
Sidharta mengikuti 2 orang guru, dan
tidak menemukan jawaban atas masalahnya. SIdharta menghukum badan dan
pikirannya, yang hampir membunuhnya, dan sekarang dia tau apa yang harus
dia lakukan, untuk mendapatkan jawaban atas pertanyaannya, dia akan
melihat ke dalam diri sendiri dan percaya pada dirinya sendiri.
Bodhgaya, sebuah kota kecil di bagian
timur laut India. Pada saat itu musim semi dan bulan terbit menggantikan
matahari. Sidharta duduk di bawah pohon bodhi dan mulai bermeditasi.
Sebelum matahari terbit, pencarian lama Sidharta akan segera berakhir,
di bawah naungan alam dan keindahannya,
Sidharta mengatakan kepada dirinya, “saya
tidak akan berpindah dari tempat ini, sampai dengan saya menyelesaikan
masalahnya, biarlah tulang saya mengering, biarlah kulit saya rusak
bersama dengan darah dan daging saya, saya menerima dan menyambut semua
itu, tetapi saya tidak akan berpindah dari tempat ini sebelum
mendapatkan kebijaksanaan dan jawaban atas permasalahan kehidupan”.
Di kisahkan, pada saat itu Mara kembali
datang dan menantang Sidharta, dengan pasukan setan menyerang Sidharta,
dan Sidharta tidak bergerak, hingga akhirnya senjata dan serangan dari
Mara dan pasukannya berubah menjadi bunga. Mara; dewa nafsu
bertambah gusar, dia gusar karena Sidharta akan mendapatkan pencerahan
dan menjadi seorang Buddha, dan mengalahkan Mara, dewa nafsu yang
menguasai dunia ini. Mara tidak menyerah, kemudian dia mengirim 3 orang
putrinya untuk menggoda Sidharta, Sidharta tetap tidak bergeming, ibarat
gunung Himalaya, cuaca dan badai silih berganti melalui gunung
Himalaya, dan gunung tetap gunung, dia tidak bergerming dan semuanya
berlalu. Sidharta duduk dalam keadaan penuh kesadaran atas segalanya,
tidak terlena, dia membuat Mara menjadi frustasi.
Sidharta bertahan terhadap setiap godaan
dari Dewa Mara. Kemudian Mara memiliki sebuah final test, Mara bertanya,
siapa yang akan menjadi saksi bahwa Sidharta telah mendapatkan
kebijaksanaan tertinggi. Sidharta tidak mengatakan apa-apa, dan dengan
jarinya menyentuh ke tanah, dia mengatakan “Bumi adalah saksi saya, Mara
kamu bukan lah Bumi ini, dan Bumi ada di sini tepat di bawah
jari saya”. Mara kalah, dan kabur bersama dengan pasukan setannya.
Sidharta bermeditasi sepanjang malam, dan
seluruh ingatan kehidupan masa lampau datang silih berganti, dia ingat
seluruh kehidupan masa lalunya. Kesadaran Sidharta semakin berkembang
dan meluas hingga ke masa lalu, dia melihat proses kelahiran dan
kematian, dan di lahirkan kembali, dan apa yang di lalui oleh semua
makhluk hidup, dia seolah-olah di berikan penglihatan tentang cara kerja
alam semesta secara keseluruhan.
Pada saat matahari terbit, “pikiran saya
dalam keadaan yang tenang” kata Sidharta. Dia telah tercerahkan, menjadi
seorang buddha. Sesuatu yang baru terbuka untuk dirinya, yang dia sebut
dengan nirwana, “Pada saat ini seluruh makhluk hidup bangun dari tidur
bersamaku”, pada saat ujung jarinya menyentuh bumi, dan bumi sebagai
saksi, melihat matahari pagi terbit, dan seluruh makhluk hidup bangun
bersama.
Apa yang di alami oleh Sidharta bukanlah
suatu keadaan yang baru yang lari dari realita yang ada. Hanya saja dia
menyadari bahwa dirinya selalu ada di nirwana, dan realita itu sendiri
adalah nirwana. Adalah ketidak-realitaan kita, dan ketidaktahuan kita,
yang membuat kita terpisah dari alam semesta, kita sendiri adalah alam
semesta.
Nirwana adalah saat ini, di tempat ini,
dan gerbangnya adalah sekarang ini, dan jalannya adalah badan dan
pikiran kita ini, tidak ada yang perlu di tuju, tidak ada yang perlu di
capai, nirwana bukan lah sesuatu yang di targetkan untuk di capai
sesudah kematian, tetapi sederhananya adalah kualitas kehidupan pada
detik ini.
Selama berminggu-minggu Sang Buddha tetap
bermeditasi di bawah pohon bodhi, damai dan tenang, Sang Buddha tergoda
untuk menarik diri dan berada di dalam ketenangan yang mendalam
tersebut, daripada mengajarkannya kepada orang lain apa yang telah di
temukan olehnya pada perjalanan spiritualnya selama 6 tahun. Dia
mengatakan kepada dirinya pada saat itu bahwa tidak akan ada orang yang
bisa mengerti tentang ini semua, orang akan mengatakan bahwa saya gila.
Buddha melihat sifat alami dari manusia, iri hati, kecemburuan, sifat
pikiran yang negatif, seperti ikan yang berenang di air yang dangkal,
sehingga pada awalnya Buddha ragu untuk mengajarkan kebijaksanaan yang
telah di perolehnya.
Menurut mitos, Dewa Brahma atau Dewa
Pencipta datang kepada Buddha dan meminta agar Buddha mengajarkan apa
yang telah di perolehnya. “Manusia membutuhkannya, para Dewa
membutuhkannya”, kata Dewa Brahma. Sehingga pada akhirnya Sang Buddha
memulai perjalanannya mengajar kepada orang-orang, oleh karena kasih
sayangnya yang besar.
Ketika kita merasakan apa yang di rasakan
oleh orang lain, kita tidak akan mau orang lain tersebut merasakan
hal-hal yang buruk, seperti halnya ketika kita merasakan tangan kita,
kita tidak akan meletakkan tangan kita di atas tungku api, kita mungkin
tidak memiliki kasih sayang terhadap tangan, tetapi kita merasakan sakit
sehingga kita tidak mau meletakkan tangan di atas tungku api. Sehingga
ketika orang lain merasakan penderitaan, kita akan melakukan yang
terbaik untuk membantu mereka.
Perjalanan hidup Siddharta Gautama
Siddhartha
Gautama adalah guru spiritual dari wilayah timur laut India yang juga
merupakan pendiri Agama Buddha. Ia secara mendasar dianggap oleh pemeluk
Agama Buddha sebagai Buddha Agung (Sammāsambuddha) pada masa sekarang.
Waktu kelahiran dan kematiannya tidaklah pasti: sebagian besar sejarawan
dari awal abad ke 20 memperkirakan kehidupannya antara
tahun 563SM sampai 483 SM; baru-baru ini, pada suatu simposium para ahli
akan masalah ini,sebagian besar dari ilmuwan yang menjelaskan pendapat
memperkirakan tanggal berkisar antara 20 tahun antara tahun 400 SM untuk
waktu meninggal dunianya, sedangkan yang lain menyokong perkiraan
tanggal yang lebih awal atau waktu setelahnya.Siddhartha Gautama
merupakan figur utama dalam agama Buddha, keterangan akan kehidupannya,
khotbah-khotbah, dan peraturan keagamaan yang dipercayai oleh penganut
agama Buddha dirangkum setelah kematiannya dan dihafalkan oleh para
pengikutnya. Berbagai kumpulan perlengkapan pengajaran akan Siddhartha
Gautama diberikan secara lisan, dan bentuk tulisan pertama kali
dilakukan sekitar 400 tahun kemudian. Pelajar-pelajar dari negara Barat
lebih condong untuk menerima biografi Sang Buddha yang dijelaskan dalam
naskah Agama Buddha sebagai catatan sejarah.
Orang Tua
Ayah
dari Pangeran Siddhartha Gautama adalah Sri Baginda
Raja Suddhodana dari Suku Sakya dan ibunya adalah Ratu Mahā Māyā Dewi.
Ibunda Pangeran Siddharta Gautama meninggal dunia tujuh hari setelah
melahirkan Sang Pangeran. Setelah meninggal, beliau terlahir di
alam/surga Tusita, yaitu alam surga luhur. Sejak meninggalnya Ratu Mahā
Māyā Dewi, Pangeran Siddharta dirawat oleh Ratu Mahā Pajāpati, bibinya
yang juga menjadiisteri Raja Suddhodana.
Riwayat Hidup
Kelahiran
Pangeran
Siddharta dilahirkan pada tahun 563 SM di Taman Lumbini, saat Ratu Maha
Maya berdiri memegang dahan pohon sal. Pada saat ia lahir, dua arus
kecil jatuh dari langit, yang satu dingin sedangkan yang lainnya hangat.
Arus tersebut membasuh tubuh Siddhartha. Siddhartha lahir dalam keadaan
bersih tanpa noda, berdiri tegak dan langsung dapat melangkah ke arah
utara, dan tempat yang dipijakinya ditumbuhi bunga teratai.
Oleh
para pertapa di bawah pimpinan Asita Kaladewala, diramalkan bahwa Sang
Pangeran kelak akan menjadi seorang Chakrawartin (Maharaja Dunia) atau
akan menjadi seorang Buddha. Hanya pertapa Kondañña yang dengan tegas
meramalkan bahwa Sang Pangeran kelak akan menjadi Buddha. Mendengar
ramalan tersebut Sri Baginda menjadi cemas, karena apabila Sang Pangeran
menjadi Buddha, tidak ada yang akan mewarisi tahta kerajaannya. Oleh
pertanyaan Sang Raja, para pertapa itu menjelaskan agar Sang Pangeran
jangan sampai melihat empat macam peristiwa. Bila tidak, ia akan menjadi
pertapa dan menjadi Buddha. Empat macam peristiwa itu adalah:
1. Orang tua,
2. Orang sakit,
3. Orang mati,
4. Seorang pertapa.
Masa Kecil
Sejak
kecil sudah terlihat bahwa Sang Pangeran adalah seorang anak yang
cerdas dan sangat pandai, selalu dilayani oleh pelayan-pelayan dan
dayang-dayang yang masih muda dan cantik rupawan di istana yang megah
dan indah. Pada saat berusia 7 tahun, Pangeran Siddharta mempunyai 3
kolam bunga teratai, yaitu:
· Kolam Bunga Teratai Berwarna Biru (Uppala)
· Kolam Bunga Teratai Berwarna Merah (Paduma)
· Kolam Bunga Teratai Berwarna Putih (Pundarika)
Dalam
Usia 7 tahun Pangeran Siddharta telah mempelajari berbagai ilmu
pengetahuan. Pangeran Siddharta menguasai semua pelajaran dengan baik.
Dalam usia 16 tahun Pangeran Siddharta menikah dengan
Puteri Yasodhara yang dipersuntingnya setelah memenangkan
berbagai sayembara. Dan saat berumur 16 tahun, Pangeran memiliki tiga
Istana, yaitu:
· Istana Musim Dingin (Ramma)
· Istana Musim Panas (Suramma)
· Istana Musim Hujan (Subha)
Masa Dewasa
Kata-kata
pertapa Asita membuat Raja Suddhodana tidak tenang siang dan malam,
karena khawatir kalau putra tunggalnya akan meninggalkan istana dan
menjadi pertapa, mengembara tanpa tempat tinggal. Untuk itu Baginda
memilih banyak pelayan untuk merawat Pangeran Siddharta, agar putra
tunggalnya menikmati hidup keduniawian. Segala bentuk penderitaan
berusaha disingkirkan dari kehidupan Pangeran Siddharta, seperti sakit,
umur tua, dan kematian, sehingga Pangeran hanya mengetahui kenikmatan
duniawi.
Suatu
hari Pangeran Siddharta meminta izin untuk berjalan di luar istana,
dimana pada kesempatan yang berbeda dilihatnya "Empat Kondisi" yang
sangat berarti, yaitu orang tua, orang sakit, orang mati dan orang suci.
Pangeran Siddhartha bersedih dan menanyakan kepada dirinya sendiri,
"Apa arti kehidupan ini, kalau semuanya akan menderita sakit, umur tua
dan kematian. Lebih-lebih mereka yang minta pertolongan kepada orang
yang tidak mengerti, yang sama-sama tidak tahu dan terikat dengan segala
sesuatu yang sifatnya sementara ini!". Pangeran Siddharta berpikir
bahwa hanya kehidupan suci yang akan memberikan semua jawaban tersebut.
Selama
10 tahun lamanya Pangeran Siddharta hidup dalam kesenangan duniawi.
Pergolakan batin Pangeran Siddharta berjalan terus sampai berusia 29
tahun, tepat pada saat putra tunggalnya Rahula lahir. Pada suatu malam,
Pangeran Siddharta memutuskan untuk meninggalkan istananya dan dengan
ditemani oleh kusirnya, Canna. Tekadnya telah bulat untuk melakukan
Pelepasan Agung dengan menjalani hidup sebagai pertapa.
Setelah
itu Pangeran Siddhartha meninggalkan istana, keluarga, kemewahan, untuk
pergi berguru mencari ilmu sejati yang dapat membebaskan manusia dari
usia tua, sakit dan mati. Pertapa Siddharta berguru kepada Alāra Kālāma
dan kemudian kepada Uddaka Ramāputra, tetapi tidak merasa puas karena
tidak memperoleh yang diharapkannya. Kemudian beliau bertapa menyiksa
diri dengan ditemani lima orang pertapa.
Masa Pengembaraan
Didalam
pengembaraannya, pertapa Gautama mempelajari latihan pertapaan dari
pertapaBhagava dan kemudian memperdalam cara bertapa dari dua pertapa
lainnya, yaitu pertapaAlara Kalama dan pertapa Udraka Ramputra. Namun
setelah mempelajari cara bertapa dari kedua gurunya tersebut, tetap
belum ditemukan jawaban yang diinginkannya. Sehingga sadarlah pertapa
Gautama bahwa dengan cara bertapa seperti itu tidak akan mencapaiPencerahan Sempurna.
Kemudian pertapa Gautama meninggalkan kedua gurunya dan pergi
ke Magadha untuk melaksanakan bertapa menyiksa diri di hutan Uruwela, di
tepi Sungai Nairanjana yang mengalir dekat Hutan Gaya. Walaupun telah
melakukan bertapa menyiksa diri selama enam tahun di Hutan Uruwela,
tetap pertapa Gautama belum juga dapat memahami hakikat dan tujuan dari
hasil pertapaan yang dilakukan tersebut.
Pada
suatu hari pertapa Gautama dalam pertapaannya mendengar seorang tua
sedang menasihati anaknya di atas perahu yang melintasi sungai
Nairanjana dengan mengatakan:
“
|
Bila
senar kecapi ini dikencangkan, suaranya akan semakin tinggi. Kalau
terlalu dikencangkan, putuslah senar kecapi ini, dan lenyaplah suara
kecapi itu. Bila senar kecapi ini dikendorkan, suaranya akan semakin
merendah. Kalau terlalu dikendorkan, maka lenyaplah suara kecapi itu.
|
”
|
Nasehat
tersebut sangat berarti bagi pertapa Gautama yang akhirnya memutuskan
untuk menghentikan tapanya lalu pergi ke sungai untuk mandi. Badannya
yang telah tinggal tulang hampir tidak sanggup untuk menopang tubuh
pertapa Gautama. Seorang wanita bernama Sujata memberi pertapa Gautama
semangkuk susu. Badannya dirasakannya sangat lemah dan maut hampir saja
merenggut jiwanya, namun dengan kemauan yang keras membaja, pertapa
Gautama melanjutkan samadhinya di bawah pohon bodhi (Asetta) di Hutan
Gaya, sambil ber-prasetya,
"Meskipun
darahku mengering, dagingku membusuk, tulang belulang jatuh berserakan,
tetapi aku tidak akan meninggalkan tempat ini sampai aku mencapai
Pencerahan Sempurna."
Perasaan
bimbang dan ragu melanda diri pertapa Gautama, hampir saja Beliau putus
asa menghadapi godaan Mara, setan penggoda yang dahsyat. Dengan kemauan
yang keras membaja dan dengan iman yang teguh kukuh, akhirnya godaan
Mara dapat dilawan dan ditaklukkannya. Hal ini terjadi ketika bintang
pagi memperlihatkan dirinya di ufuk timur.
Pertapa
Gautama telah mencapai Pencerahan Sempurna dan menjadi Samyaksam-Buddha
(Sammasam-Buddha), tepat pada saat bulan Purnama Raya di
bulan Waisak ketika ia berusia 35 tahun (menurut versi Buddhisme
Mahayana, 531 SM pada hari ke-8 bulan ke-12, menurut kalender lunar.
Versi WFB, pada bulan Mei tahun 588 SM). Pada saat mencapai Pencerahan
Sempurna, dari tubuh Sang Siddharta memancar enam sinar Buddha
(Buddharasmi) dengan warna biru yang berarti bhakti; kuning mengandung
arti kebijaksanaan dan pengetahuan; merah yang berarti kasih sayang dan
belas kasih; putihmengandung arti suci; jingga berarti giat; dan
campuran kelima sinar tersebut.
Tujuh Minggu Setelah Pencerahan Sempurna
1. Selama minggu pertama,
Sang
Buddha duduk bermeditasi di bawah pohon Bodhi dan menikmati keadaan
Nibbana, yaitu keadaan yang terbebas sama sekali dari gangguan-gangguan
batiniah, sehingga batin-Nya tenang sekali dan penuh kedamaian.
2. Selama minggu kedua,
Sang
Buddha berdiri beberapa kaki dari pohon Bodhi dan memandanginya
terus-menerus dengan mata tidak berkedip selama satu minggu sebagai
ucapan terima kasih dan penghargaan kepada pohon yang telah memberi-Nya
tempat untuk berteduh sewaktu berjuang untuk mencapai tingkat Buddha.
Mengikuti apa yang telah dilakukan oleh Sang Buddha dahulu, sekarang pun
umat Buddha memberi penghormatan kepada pohon Bodhi.
3. Selama minggu ketiga,
Sang
Buddha berjalan mondar-mandir di atas jembatan emas yang diciptakan-Nya
di udara karena melalui mata dewa-Nya, Sang Buddha mengetahui bahwa ada
dewa-dewa di surga yang masih meragukan apakah Beliau benar telah
mencapai Penerangan Agung.
4. Selama minggu keempat,
Sang
Buddha berdiam di kamar batu permata yang diciptakan-Nya. Di kamar
permata itulah Sang Buddha bermeditasi mengenai Abhidhamma, yaitu ajaran
mengenai ilmu jiwa dan metafisika. Batin dan badan jasmani-Nya telah
menjadi demikian bersih, sehingga mengeluarkan sinar-sinar berwarna
biru, kuning, merah, putih, jingga dan campuran kelima warna tersebut.
Kini warna-warna tersebut diabadikan sebagai bendera umat Buddha.
5. Selama minggu kelima,
Sang
Buddha bermeditasi di bawah pohon Ajapala Nigrodha (pohon beringin),
tidak jauh dari pohon Bodhi. Di sinilah tiga orang anak Mara yaitu
Tanha, Arati, dan Raga masih berusaha untuk mengganggu-Nya. Mereka
menampakkan diri sebagai tiga orang gadis yang elok dan menggiurkan yang
dengan berbagai macam tarian yang erotis (penuh nafsu birahi), diiringi
nyanyian yang merdu dan bisikan yang memabukkan, berusaha untuk merayu
dan menarik perhatian Sang Buddha. Tetapi Sang Buddha menutup mata-Nya
dan tidak mau melihat, sehingga akhirnya tiga orang dewi hawa nafsu
meninggalkan Sang Buddha.
6. Selama minggu keenam,
Sang
Buddha bermeditasi di bawah pohon Mucalinda. Karena waktu itu turun
hujan lebat, maka datanglah seekor ular kobra yang besar sekali dan
melibatkan badannya tujuh kali memutari badan Sang Buddha dan kepalanya
memayungi Sang Buddha supaya jangan sampai terkena air hujan. Waktu
hujan berhenti, ular itu berubah bentuknya menjadi seorang anak muda.
Pada waktu itulah Sang Buddha mengucapkan kata kata sebagai berikut:
“Berbahagialah
mereka yang bisa merasa puas. Berbahagialah mereka yang dapat mendengar
dan melihat kesunyataan. Berbahagialah mereka yang bersimpati kepada
makhluk-makhluk lain di dunia ini. Berbahagialah yang hidup di dunia
dengan tidak melekat kepada apa pun dan mengatasi hawa nafsu. Lenyapnya
‘Sang Aku’ merupakan berkah yang tertinggi.”
7. Selama minggu ketujuh,
Sang
Buddha bermeditasi di bawah pohon Rajayatana. Pada hari ke-50 pagi
hari, setelah berpuasa selama tujuh minggu, dua orang pedagang lewat di
dekat tempat Sang Buddha sedang duduk. Mereka, Tapussa dan Bhallika,
menghampiri Sang Buddha dan mempersembahkan makanan dari beras dan madu.
Sang Buddha agak tertegun sejenak karena mangkuk yang Beliau terima
dari Sujata telah dihanyutkan di Sungai Neranjara dan sejak zaman dahulu
tidak pernah seorang Buddha menerima makanan dengan kedua tangan-Nya.
Tiba-tiba empat orang dewa dari empat penjuru alam (Catumaharaja yaitu
Dhatarattha dari sebelah Timur, Virulhaka dari Selatan, Virupakkha dari
Barat, dan Kuvera dari Utara) datang menolong dengan membawa seorang
satu mangkuk yang dipersembahkan kepada Sang Buddha. Sang Buddha
menerima empat mangkuk tersebut dan dengan kekuatan gaib-Nya dijadikan
satu mangkuk.
Dengan
demikian Sang Buddha dapat menerima persembahan dari Tapussa dan
Bhallika. Setelah Sang Buddha selesai makan kedua pedagang itu memohon
agar diterima sebagai pengikut. Mereka diterima sebagai upasaka-upasaka
pertama yang berlindung kepada Sang Buddha dan Dhamma. Kemudian mereka
mohon diberikan suatu benda yang dapat mereka bawa pulang, Sang Buddha
mengusap kepala-Nya dengan tangan kanan dan memberikan beberapa helai
rambut (Kesa Dhatu = Relik Rambut). Tapussa dan Bhallika dengan gembira
menerima Kesa Dhatu tersebut dan setelah tiba di tempat mereka tinggal,
mereka mendirikan sebuah pagoda untuk memuja Kesa Dhatu ini. Setelah
makan, Tapussa dan Bhallika melanjutkan perjalanannya, Sang Buddha
merenung apakah Dhamma yang Beliau temukan akan diajarkan kepada
khalayak ramai atau tidak. Sebab Dhamma itu dalam sekali dan sulit untuk
dimengerti
Sang
Buddha segera berangkat menuju ke Taman Rusa Benares. Dalam perjalanan
ke Sungai Gaya, Sang Buddha bertemu dengan seorang pertapa Ajivaka
bernama Upaka. Terpesona melihat Sang Buddha yang wajah-Nya demikian
cemerlang, Upaka bertanya siapakah guru Sang Buddha. Sang Buddha
menjawab bahwa Beliau adalah orang Yang Maha Tahu dan tidak mempunyai
guru siapa pun juga. Tetapi Upaka nampaknya sama sekali tidak terkesan.
Ia menggelengkan kepala dan kemudian meneruskan perjalanannya, sedangkan
Sang Buddha sendiri juga melanjutkan perjalanan-Nya ke Benares
Penyebaran Agama Buddha
Setelah
mencapai Pencerahan Sempurna, pertapa Gautama mendapat gelar
kesempurnaan yang antara lain: Buddha Gautama, Buddha
Shakyamuni, Tathagata('Ia Yang Telah Datang', Ia Yang Telah Pergi'),
Sugata ('Yang Maha Tahu'), Bhagava ('Yang Agung') dan sebagainya. Lima
pertapa yang mendampingi Beliau di hutan Uruwela merupakan murid pertama
Sang Buddha yang mendengarkan khotbah pertama Dhammacakka Pavattana,
dimana Beliau menjelaskan mengenai Jalan Tengah yang ditemukan-Nya,
yaitu Delapan Ruas Jalan Kemuliaan termasuk awal khotbahNya yang
menjelaskan "Empat Kebenaran Mulia".
Buddha
Gautama berkelana menyebarkan Dharma selama empat puluh lima tahun
lamanya kepada umat manusia dengan penuh cinta kasih dan kasih sayang,
hingga akhirnya mencapai usia 80 tahun, saat ia menyadari bahwa tiga
bulan lagi ia akan mencapai Parinibbana.Sang Buddha dalam keadaan sakit
terbaring di antara dua pohon sala di Kusinagara,
memberikan khotbah Dharma terakhir kepada siswa-siswa-Nya, lalu
Parinibbana (versi Buddhisme Mahayana, 486 SM pada hari ke-15 bulan ke-2
kalender Lunar. Versi WFB pada bulan Mei, 543 SM).
Sifat Agung Sang Buddha
1. Berusaha menolong semua makhluk.
2. Menolak semua keinginan nafsu keduniawian.
3. Mempelajari, menghayati dan mengamalkan Dharma.
4. Berusaha mencapai Pencerahan Sempurna.
Buddha
Gautama pertama melatih diri untuk melaksanakan amal kebajikan kepada
semua makhluk dengan menghindarkan diri dari sepuluh tindakan yang
diakibatkan oleh tubuh, ucapan dan pikiran, yaitu
· Tubuh (kaya): pembunuhan, pencurian, perbuatan jinah.
· Ucapan (vak): penipuan, pembicaraan fitnah, pengucapan kasar, percakapan tiada manfaat.
· Pikiran (citta): kemelekatan, niat buruk dan kepercayaan yang salah.
Cinta
kasih dan kasih sayang seorang Buddha adalah cinta kasih untuk
kebahagiaan semua makhluk seperti orang tua mencintai anak-anaknya, dan
mengharapkan berkah tertinggi terlimpah kepada mereka. Akan tetapi
terhadap mereka yang menderita sangat berat atau dalam keadaan batin
gelap, Sang Buddha akan memberikan perhatian khusus. Dengan Kasih
Sayang-Nya, Sang Buddha menganjurkan supaya mereka berjalan di atas
jalan yang benar dan mereka akan dibimbing dalam melawan kejahatan,
hingga tercapai "Pencerahan Sempurna".
Sebagai Buddha yang
abadi, Beliau telah mengenal semua orang dan dengan menggunakan
berbagai cara Beliau telah berusaha untuk meringankan penderitaan semua
makhluk. Buddha Gautama mengetahui sepenuhnya hakekat dunia, namun
Beliau tidak pernah mau mengatakan bahwa dunia ini asli atau palsu, baik
atau buruk. Ia hanya menunjukkan tentang keadaan dunia sebagaimana
adanya. Buddha Gautama mengajarkan agar setiap orang memelihara akar
kebijaksanaan sesuai dengan watak, perbuatan dan kepercayaan
masing-masing. Ia tidak saja mengajarkan melalui ucapan, akan tetapi
juga melalui perbuatan. Meskipun bentuk fisik tubuh-Nya tidak ada
akhirnya, namun dalam mengajar umat manusia yang mendambakan hidup
abadi, Beliau menggunakan jalan pembebasan dari kelahiran dan kematian
untuk membangunkan perhatian mereka.
Pengabdian
Buddha Gautama telah membuat diri-Nya mampu mengatasi berbagai masalah
di dalam berbagai kesempatan yang pada hakekatnya adalah Dharma-kaya,
yang merupakan keadaan sebenarnya dari hakekat yang hakiki dari seorang
Buddha. Sang Buddha adalah pelambang dari kesucian, yang tersuci dari
semua yang suci. Karena itu, Sang Buddha adalah Raja Dharma yang agung.
Ia dapat berkhotbah kepada semua orang, kapanpun dikehendaki-Nya. Sang
Buddha mengkhotbahkan Dharma, akan tetapi sering terdapat telinga orang
yang bodoh karena keserakahannya dan kebenciannya, tidak mau
memperhatikan dan mendengarkan khotbah-Nya. Bagi mereka yang
mendengarkan khotbah-Nya, yang dapat mengerti dan menghayati serta
mengamalkan Sifat Agung Sang Buddha akan terbebas dari penderitaan
hidup. Mereka tidak akan dapat tertolong hanya karena mengandalkan
kepintarannya sendiri.
Riwayat dan Ajaran Gautama
Tidak ada biografi Gautama yang ditulis sampai seratus tahun setelah kematiannya. Namun begitu, sepertinya ia hidup dalam kemewahan pada masa-masa awal kehidupannya.
Saat remaja, ia menikahi sepupunya, Yasodhara. Setelah menikah, ia pindah ke sebuah istana yang dibangun ayahnya untuknya dan terus menikmati kenyamanan hidup kaum elit. Suatu hari, meski dicegah untuk tidak melihat sisi gelap dari kehidupan, saat ia berjalan menuju taman istana, ia melihat seorang tua, orang sakit, orang mati, dan biksu yang sedang meminta-minta. Sejak itu, ia terus memikirkan kerasnya dunia. Saking terusiknya ia oleh masalah penderitaan manusia, ia merasa sangat perlu untuk keluar dari kehidupannya yang nyaman, yang mungkin dapat mencegahnya mencari jawaban untuk pertanyaan-pertanyaan yang menyiksa pikirannya. Meski disodori berbagai kenikmatan agar ia mengurungkan niatnya, pada suatu malam Gautama menyelinap pergi setelah melihat istri dan anak laki-lakinya sedang tidur (anak laki-laki yang secara simbolis ia beri nama Rahula, yang berarti "belenggu"). Ia meninggalkan rumah, kekayaan, dan masa depan yang cerah untuk mencari jawaban teka-teki kehidupan.
Ia berusia 29 tahun saat mengembara, namun tidak sampai enam tahun, perjalanannya berbuah. Pertama-tama ia menaati ajaran dua pertapa Brahmana terkenal, Alara dan Uddaka. Namun, Gautama tidak dapat menemukan kepuasan karena ajaran tersebut tidak mengatakan bagaimana caranya mengakhiri reinkarnasi.
Selanjutnya, ia bersama kelima temannya menjalani kehidupan pertapaan yang ekstrim di sebuah hutan. Kabarnya, ia hanya makan sedikit nasi sehari sampai tubuhnya yang terawat menjadi kurus kering. Hal tersebut memberinya pengalaman yang jelas bahwa pertapaan dan pengekangan diri adalah delusi; hal itu tidak mengantarkan seseorang menuju realisasi diri, namun melemahkan tubuh dan pikiran. Karena itu, ia kemudian memutuskan untuk menjalani hidup sederhana yang penuh dengan kegiatan mental intensif.
Akhirnya, sebagai puncak dari sebuah meditasi yang panjang, ia duduk di bawah sebuah pohon ara di Uruvela (yang kemudian disebut sebagai "Bo" atau Pohon Kebijaksanaan) dan di sana ia menerima hikmat. Sang pengembara akhirnya menemukan apa yang dicarinya. Ia tidak tidak hanya mendapatkan jawaban atas permasalahannya, namun juga memiliki pesan agar seluruh dunia mendengarnya.
EMPAT KEBENARAN
Hikmat Gautama mengandung empat kebenaran.
-
Penderitaan. Hal ini menunjuk pada penderitaan
mental dan fisik. Kebenaran ini menyatakan bahwa penderitaan itu selalu
ada dan merupakan sifat kehidupan. Semua makhluk hidup adalah subjeknya.
Kehidupan berjalan beriringan dengan penderitaan.
-
Kebenaran yang kedua berkenaan dengan sebab dari
penderitaan. Penderitaan disebabkan oleh hasrat dalam hati yang besar,
yang berakar pada ketidaktahuan, yang akhirnya tidak dapat terpuaskan.
-
Kebenaran ketiga menyatakan bahwa penderitaan akan
berhenti jika hasrat juga berhenti, serta ketika hasrat egois dan nafsu
kehidupan ditinggalkan dan dihancurkan. Saat itu terjadi, kedamaian akan
dicapai.
-
Kebenaran keempat adalah tentang jalan menuju pada
penghentian penderitaan. Jalan Rangkap Delapan adalah semacam jalur
komprehensif dalam berdisiplin diri untuk menjadi manusia yang semakin
baik, yang pada akhirnya akan memusnahkan hasrat manusia dan berujung
pada kesempurnaan moral. Gautama yakin bahwa dengan cara inilah, manusia
dapat keluar dari lingkaran reinkarnasi. Jalan ini juga dikenal dengan
nama Jalan Tengah.
Delapan jalan itu adalah sebagai berikut.
-
Pandangan yang benar. Hal ini melibatkan penerimaan
empat kebenaran dan penolakan tegas, baik terhadap posisi filosofis yang
tidak benar mengenai hal-hal seperti diri dan takdirnya, maupun sikap
moral yang buruk, yang berujung pada keirihatian, kebohongan, gosip, dan
semacamnya.
-
Aspirasi yang benar. Membebaskan pikiran dari
hal-hal seperti nafsu, niat buruk, dan kekejaman. Seseorang harus
memiliki ketetapan hati yang teguh untuk mencapai tujuan tertinggi.
-
Tuturan yang benar. Seseorang harus terus terang dan
dapat dipercaya dalam berkata-kata, serta tidak bohong dan kasar.
Kata-kata harus lembut, nyaman di telinga, masuk ke hati, bermanfaat,
tepat waktu, dan sesuai fakta.
-
Sikap yang benar. Hal ini meliputi amal, tidak
membunuh segala makhluk hidup (bahkan memecah telur ayam pun tidak
diperbolehkan), tidak mencuri, dan tidak berzinah. Dalam ajaran Buddha,
moralitas dan hikmat intelektual tidak terpisahkan, seperti kata
mutiara, "Moralitas membentuk dasar kehidupan yang lebih baik, hikmat
melengkapinya."
-
Gaya hidup yang benar. Kehidupan manusia harus
terbebas dari kemewahan. Tidak boleh ada makhluk hidup yang disakiti.
Setiap orang harus berusaha untuk menguasai satu keahlian dan
menggunakannya agar bermanfaat bagi sesamanya.
-
Usaha yang benar. Pertama, berusaha menghindari
munculnya pikiran yang buruk; kedua, usaha untuk mengatasi pikiran
buruk; ketiga, usaha untuk mengembangkan kondisi yang berfaedah, seperti
pengendalian diri, penyelidikan ajaran, konsentrasi, dan rasa bahagia;
terakhir, usaha untuk mengembangkan kondisi yang berfaedah yang telah
muncul dan menyempurnakannya. Klimaks dari pencapaian ini adalah kasih
universal.
-
Kesadaran yang benar. Merupakan empat dasar
perenungan, [1] perenungan kefanaan dan keseganan tubuh; [2] perenungan
perasaan diri dan orang lain; [3] perenungan pikiran; dan [4] perenungan
fenomena yang ditujukan untuk menguasai proses mental seseorang.
-
Konsentrasi yang benar. Hal ini berkenaan dengan
menyempurnakan ketajaman pikiran, mengonsentrasikan pikiran pada satu
objek, yaitu semua rintangan yang telah diatasi. Hal ini merupakan
bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan pengikut Buddha. Hal
ini akan membuat mereka disempurnakan; gangguan dan pikiran jahat
diganti dengan rasa bahagia dan ketenangan hati. Pada akhirnya tercapai
hikmat yang sempurna.
Buddha dikenal sebagai sistem pembebasan diri yang paling radikal yang pernah ada di dunia. Kehidupan normal tidak akan cukup untuk menuntaskan setiap tahapan yang diperlukan untuk mencapai kesempurnaan. Seluruh proses (Empat Kebenaran dan Jalan Rangkap Delapan) membutuhkan jangka waktu yang luar biasa lama, yang membutuhkan berkali-kali reinkarnasi. Untuk menyelesaikannya dengan lebih cepat, seseorang perlu meninggalkan keluarganya, seperti yang Gautama pernah lakukan.
DEFINISI PENTING
Untuk dapat memahami Jalan Tengah dengan baik, penting untuk mengerti makna dari "karma", "ketidakabadian", dan "nirwana", konsep yang sering muncul dalam ajaran Buddha.
-
Karma. Menunjuk pada aksi-reaksi dan hukum
sebab akibat. Apa yang Anda tuai akan Anda tabur. Tidak ada yang dapat
mengubah atau menghentikan konsekuensi dari setiap perbuatan. Hukum
sebab akibat adalah rantai yang terus ada sepanjang zaman. Anda yang
sekarang dan yang Anda lakukan sekarang adalah hasil dari Anda yang dulu
dan Anda lakukan dalam inkarnasi sebelumnya. Dan inkarnasi Anda
selanjutnya ditentukan oleh diri Anda yang sekarang. Mustahil untuk
membatalkan konsekuensi dari perbuatan jahat dengan melakukan perbuatan
baik. Kebaikan akan membawa buahnya, demikian juga dengan kejahatan;
keduanya beroperasi secara independen. Saat keberadaan seseorang yang
sekarang berreinkarnasi, makhluk baru muncul atas dasar karmanya.
Makhluk baru itu tidak identik, namun berhubungan dengan yang baru
meninggal, karena tautan karma memelihara individualitas tertentu
melalui banyak perubahan yang terjadi.
-
Hukum sebab akibat berlaku dalam dunia mental,
moral, dan fisik. Dengan bantuan hukum itu, beberapa hal seperti cinta
pada pandangan pertama dapat dijelaskan; kedua individu memiliki
hubungan di kehidupan yang lalu. Tidak ada satu hal pun dalam kehidupan
ini yang tidak dapat dijelaskan dengan teori ini. Keyakinan dalam karma,
hukum sebab akibat yang tidak dapat diubah, serta kejahatan dan
kebaikan melalui reinkarnasi yang terus berlangsung, menghasilkan
fatalisme dalam pemikiran pengikut Buddha. Apa yang akan terjadi, akan
terjadi dan tak terhindarkan. Penderitaan, kehilangan, kematian,
bencana, semuanya adalah bagian dari karma, dan hal itu memberikan
nuansa ketidaktanggungjawaban dalam fatalisme. Waktu antara satu
kehidupan dan kehidupan lain diyakini lebih lama dari masa kehidupan
normal.
-
Ketidakabadian. Buddha mengajar bahwa semua
yang hidup melalui lingkaran kelahiran, pertumbuhan, kebusukan, dan
kematian. Kehidupan itu satu dan tidak dapat dibagi-bagi; yang terus
berubah dalam jumlah yang tak terhitung dan tak pernah berhenti. Setiap
makhluk hidup harus mati dan memberikan tempat kepada makhluk lain.
Manusia itu tidak abadi. Keberadaan individu hanyalah sebuah ilusi
karena individu tersebut terus berubah dan hanya memiliki keberadaan
yang sifatnya fenomenal. Doktrin ini dapat diwakili dengan mengatakan
bahwa Gautama menyangkal keberadaan manusia sebagai individu yang
terpisah.
-
Nirwana. Ada banyak definisi yang mungkin
akan menggambarkan makna dari apa yang disebut nirwana. Nirwana adalah
sebuah penyataan etis, sebuah kondisi di mana tidak ada lagi
reinkarnasi, hasrat, dan penderitaan. Kadang istilah ini juga
didefinisikan sebagai kebebasan dari kungkungan tubuh, kesadaran akan
kedamaian yang paling agung, dan sebuah kebahagiaan yang sempurna dan
tanpa hasrat. Nirwana merupakan akhir dari karma.
Dihadapkan dengan masalah penderitaan, agama ini mengajarkan cara mendapat keselamatan dari karma dan siklus kehidupan dengan pemusnahan hasrat (nafsu). Hal itu merupakan suatu proses yang evolusioner untuk dicapai oleh seseorang karena Buddha tidak menerima pandangan bahwa manusia itu pada dasarnya berdosa dan perlunya pribadi lain untuk menyelesaikan ajaran moralnya. Agama ini terutama fokus pada masalah rasa sakit dan derita daripada masalah dosa. Buddha bukanlah agama yang menekankan komunikasi antara manusia dan ilahi. Agama ini lebih merupakan sebuah filosofi moral dan sebuah jalan.

1. Siddharta Gautama yang dikenal juga dengan Sakyamuni dan kemudian terkenal dengan nama Buddha adalah pendiri agama Buddha. Hari kelahirannya dirayakan dengan nama “Buddha Poornima” yang dipercaya lahir pada saat poornima yang artinya bulan purnama. Nama Siddharta berarti “orang yang mencapai tujuan dan cita-citanya” dan nama Buddha yang diberikan oleh para muridnya mempunyai arti “orang yang dicerahkan”. Para arkeolog memperdebatkan keberadaannya, tetapi bukti-bukti menyatakan bahwa dia memang ada. Orang-orang mengenal dia sebagai pendiri Buddhisme, tetapi jarang yang tahu tentang kehidupannya. Kehidupannya bisa dibagi menjadi dua bagian, yaitu kehidupan sebelum mencapai pencerahan dan kehidupan setelah mencapai pencerahan.
2. Buddha Gautama dikenal hidup sangat sederhana dan banyak orang yang tidak tahu bahwa dia lahir sebagai pangeran atau putra mahkota dari Marga Shakya di istana Kapilavastu Nepal. Ayahnya, Suddhodana adalah ketua Marga Shakya di India sedangkan ibunya Ratu Maha Maya dikenal sebagai putri Koli. Buddha lahir di Lumbini di bawah pohon mangga di sebuah taman, yang sekarang lokasinya di kaki bukit di Nepal. Meski dia lahir sebagai putra mahkota tetapi menganut agama Buddha. Dia menganggap jalannya lebih penting dibandingkan kekuasaan dan kekayaan. Buddha menikah dengan Yasodhara dan mempunyai putra bernama Rahula. Setelah berkelana untuk pencarian agamanya maka dia menyatakan bahwa kebahagiaan perkawinan bukanlah tujuan terakhir dari kehidupan seseorang.
3. Sebelum Buddha Gautama lahir ada seorang ahli nujum meramalkan bahwa anak Suddhodhana akan menjadi manusia suci yang terkenal atau dia akan menjadi raja yang agung. Ayahnya menginginkan dia jauh dari kesengsaraan dan bahkan tidak mengizinkan dia menganut ajaran agama karena takut dia menjadi orang suci. Ayahnya bahkan membuatkan dia tiga istana dengan seluruh kemewahan hidup agar dia tidak punya keinginan melihat dunia luar. Siddharta tidak diperkenakan kelaur istana dan dia menghabiskan awal-awal hidupnya di istana yang mewah.

4. Karena sudah ditakdirkan menjadi manusia suci, Gautama kemudian muak dengan kehidupan materialistik dan ingin meninggalkan istana untuk melihat dunia luar. Pada usia 29 tahun, ketika sedang melihat-lihat sisi luar istana, dia melihat empat hal yang berbeda selama empat perjalanan yang berbeda di luar istana yang tidak dia sadari. Empat hal inilah yang merubah kehidupan mendalam Siddharta. Dalam empat perjalanannya di luar istana dia melihat seorang lelaki tua, jenazah, lelaki yang sedang sakit, dan dia melihat seorang pertapa yang berkelana. Dia merasa sangat gelisah dengan tempat-tempat ini dan dia heran mengapa dia bisa menikmati kehidupan yang mewah sedangkan di sana banyak terdapat penderitaan di dunia. Dia akhirnya menyatakan bahwa realitas itu bukan apa yang dia lihat sampai sekarang dalam hidupnya tetapi realitas itu apa yang dia saksikan dalam kehidupan.

5. Setelah menyaksikan penderitaan di dunia, Gautama tidak dapat menikmati hidupnya di istana tetapi digunakan untuk berkelana di istana. Dia akhirnya sampai pada pemahaman bahwa ketiadaan itu kekal atau permanen dan hal-hal yang bagus dan indah di sekitarnya akan sirna dan mati pada waktunya. Tidak ada yang bisa membuat dia bahagia setelah berkelana di luar istana, bahkan kabar kelahirannya anaknya pun tidak mampu membahagiakannya. Akhirnya dia tinggalkan seluruh kesenangan hidup dan meninggalkan orang-orang yang dicintainya untuk menjadi biarawan yang mengembara untuk mencari pencerahan.
6. Setelah meninggalkan istana, Gautama susah menemukan guru yang dapat mengajarkan tentang kebenaran dunia dan tentang agama yang berbeda-beda. Untuk belajar tentang penderitaan dia mengembara dengan berjubah dan berusaha mempelajarinya dari guru yang paling bijaksana. Tetapi tidak ada guru yang bisa menerangkan bagaimana cara mengakhiri penderitaan dan oleh karena itu akhirnya dia memutuskan untuk mencari jawabannya sendiri. Selama sekitar enam tahun dia menjalani disiplin hidup dengan hanya makan akar-akaran, buah, dan makanan mentah. Dia juga belajar yoga dan praktik meditasi. Dalam waktu singkat Siddharta berhasil menjadi guru seni meditasi Yoga, tetapi tetap tidak bisa memuaskan. Kemudian dia menyatakan bahwa kenikmatan hidup di istana dan atau hidup yang sederhana di hutan adalah jawaban apa yang selama ini dia cari.
7. Dia mengajar dengan cara berkelana ke penjuru dunia sampai meninggal pada usia 80 tahun. Dia meninggal di Kushinagar pada tahun 483 SM. Dia menganjurkan kepada para pengikutnya untuk berusaha keras mencapai pembebasan dan pelepasan dan dia mengatakan bahwa kebahagiaan itu adalah kesadaran kalau dunia itu tidak kekal. Bahkan setelah beberapa tahun setelah wafatnya Buddha, ungkapan mendalam ini masih diikuti oleh pengikutnya di seluruh dunia.
8. Selama berkelana mengajarkan ajarannya, Buddha mengunjungi anaknya, ayah, istri tercintanya, dan ibu yang membesarkannya. Keluarganya segera bergabung dengan Sangha, yaitu komunitas atau jamaah agama Buddha. Sepupunya, Ananda, juga menjadi muridnya dan bergabung dengan jamaah tersebut dan menjadi biarawan. Anaknya, Rahula, adalah biarawan termuda di jamaah dan menjadi biarawan ketika dia masih berumur tujuh tahun.
9. Setelah mencapai pencerahan Buddha mulai menyampaikan ide dan ajarannya. Buddha dan muridnya selama 45 tahun selanjutnya berkelana ke banyak tempat di penjuru dunia untuk menyebarkan ajarannya. Buddha mengajarkan bahwa untuk mencapai pencerahan orang harus mempunyai rasa peduli, menjauhi sifat pemarah, dan tidak membenci orang. Khutbah pertama Buddha adalah di Sarnath di Uttar Pradesh.
10. Siddhartha menyatakan bahwa asketisme ekstrim bukanlah jalan yang tepat untuk mencapai pencerahan. Dia akhirnya menemukan “Jalan Tengah”, yaitu jalan pengendalian yang tidak mendukung keburukan diri dan kemurahan diri yang ekstrim. Dia duduk di bawah pohon “pipal” yang sekarang dikenal sebagai pohon Bodhi untuk bermeditasi dan berjanji tidak akan bangun dari tempat itu sanpai dia menemukan kebenaran mutlak yang dia cari. Setelah bermeditasi selama 49 hari akhirnya dia mencapai “Pencerahan”.
11. Tempat Buddha mendapatkan pencerahan di bawah pohon Bodhi masih terawat sampai sekarang.


12. Para pengikut Buddha memandang Buddha sebagai seorang guru dan bukan tuhan atau avatar.






Comments
Post a Comment